Selasa, 28 Juni 2011

Keris Bertuah dan Kecocokan Dengan Pemiliknya

Saya termasuk orang yang skeptis dengan pemahaman bahwa tosan aji atau keris pada khususnya adalah benda yang memiliki isi berupa jin, penunggu atau khodam, atau istilah-istilah lain yang baru muncul ketika agama-agama samawi mulai mapan di Nusantara ini. Tidaklah mengherankan jika hingga sekarang orang mengkaitkan keris dengan klenik, tahyul, mistisisme, gaib dan ketakutannya terhadap hal-hal yang bersifat kasat mata tersebut. 

Keris sendiri sudah ada sejak kebudayaan Dong Son menyebar di Asia Tenggara sejak 200 SM, jauh sebelum penyebaran agama Hindu Budha bahkan Kristen dan Islam yang baru muncul kemudian. Dengan demikian tentunya aneh jika keris yang masih ada, katakanlah pada masa pra Islam kemudian dicecari oleh pemahaman yang baru muncul kemudian dan membawanya kepada perbuatan yang dianggap menyekutukan Tuhan, musyrik sehingga membuat keris dibuang, dilarung atau dipendam di dalam tanah. Sesungguhnya, kedatangan agama-agama Hindu Budha hingga Islam adalah bukan saja untuk mempertebal spiritualitas tetapi untuk mencerahkan akal dan menambah aspek pengetahuan yang bersifat rasional. Lantas mengapa hal tersebut terjadi? Pertemuan antar budaya satu dengan yang lain tidak dianggap saling melengkapi melainkan saling mengikis satu sama lain. Ketidaktahuan bukan lantas mencoba untuk mencari tahu, tetapi justru membuat diri berada di dalam tempurung kebodohan. Kemalasan juga yang memperlakukan agama dan kebudayaan hanya berhenti sekedar kepada pertanyaan-pertanyaan tentang mana yang boleh dan tidak boleh. Jawaban dari pertanyaan yang bersifat oposisi biner tersebut yang kemudian dipegang erat-erat sehingga mempersalahkan orang lain dan menganggap diri sendiri yang paling benar. Erosi pemikiran inilah yang kemudian membuat kebudayaan, rasa seni dan estetika menjadi tumpul. Buah kebudayaan seperti tosan aji direduksi maknanya habis-habisan sebagai produk 'jahiliyah' yang kalaupun digunakan hanya sebatas pada pemanfaatan yang bersifat mitos, tahyul dan klenik untuk membentengi situasi politik tertentu pada jaman tertentu. Misalnya saja, cerita tentang pertempuran keris Sengkelat dan Sabuk Inten melawan Condong Campur dipahami secara tekstual dan harafiah. padahal mitos itu diciptakan sebagai tafsir situasi politik pada akhir Majapahit itu sendiri ketika golongan sakit hati (Sengkelat) menguasai massa (Condong Campur) setelah golongan borjuasi (Sabuk Inten) menyingkir.

Demikian pula pemahaman terhadap keris yang dianggap memiliki tuah atau kekuatan yang dibantu dengan jin, penunggu, isi atau gaib yang ada didalamnya. Buat saya tidak ada keris yang tidak baik, karena pada dasarnya keris yang diciptakan oleh seorang empu tentunya juga memiliki niatan yang baik. Entah keris tayuhan atau apapun, jika seorang empu hendak membuat keris tersebut tentunya diiringi oleh do'a. Permohonan seperti itu memiliki kekuatan berupa energi, sama halnya dengan do'a yang diucapkan secara sungguh oleh orang dalam sehari-hari. Hanya saja energi do'a dari empu tersebut juga memiliki kadar dan tingkat fokus yang tinggi dibarengi oleh ritual yang ia lakukan. Do'a memperkuat niat dan intensitas pembuatan keris diobarengi oleh segenap ricikan baik dhapur maupun pamor keris yang ia inginkan. Cocok tidaknya keris tersebut dengan pemesannya tentu disesuaikan juga oleh empu tersebut. Misalnya keris dhapur Pulanggeni, tentu saja dibuat dengan tujuan berupa aura kewibawaan, kharisma dan keunggulan dalam peperangan sehingga pemesannya pada jaman dahulu adalah seorang pemimpin pasukan.

Akan tetapi di jaman sekarang, sangat jarang orang bisa memesan kepada empu. Kalau pun ada tentunya akan sangat mahal. Cara yang paling praktis adalah membeli (dengan istilah 'memahari' atau 'memberi mas kawin'). Disini masalah kecocokan berbicara lain. Sering orang membeli karena preferensi berupa sekedar suka atau bahkan ingin memiliki dibandingkan dengan melihat kebutuhan intrinsik yang lebih dalam. jika keris dhapur Pulanggeni atau Singobarong sepuh tadi berpindah tangan ke seorang pedagang, maka jelas aura yang muncul tidak cocok. Bagaimana mungkin seorang pedagang yang membutuhkan aura berupa keluwesan, pergaulan dan pencarian rejeki material tersebut berhadapan dengan aura kewibawaan, kharisma dan keunggulan dalam peperangan? Jelas saja para pelanggan si pedagang bisa menjauh karena ketidak cocokan tersebut. Sama saja dengan pejabat negara yang membeli keris dhapur Sabuk Inten dengan aura berupa kekayaan material dan rejeki dalam berusaha. Baik kekayaan material dan rejeki dalam berusaha jelas tidak mengandalkan keris Sabuk Inten, melainkan dengan berusaha sebaik dan sejujur mungkin dalam berbisnis. Keris dhapur Sabuk Inten tidak mendatangkan kekayaan, melainkan hanya mempertegas simbolisasi dan aura yang dimilikinya. Itulah sebabnya dhapur keris ini banyak dicari oleh pebisnis atau pengusaha. Jadi untuk apa kekayaan bagi pejabat negara? itu pertanyaan politik yang tidak harus dijawab di tulisan ini.

Dengan demikian, sebilah keris bertuah tidaklah mengandalkan sebutan apapun yang bersifat mistis, klenik atau tahyul. Sebilah keris memiliki tuah karena do'a si pembuat dan aura dari ricikan, dhapur dan pamornya yang memberikan simbol dan makna terhadap apa yang dikerjakan dan dijalani oleh si pemiliknya. Memiliki keris bertuah di jaman sekarang bukanlah hal aneh dengan membeli, sepanjang proses tersebut disadari betul oleh calon pemilik sebagai upaya simbolisnya untuk mempertegas apa yang dikerjakan sehari-hari atau apa yang dicita-citakan kelak, sebagai upaya untuk melestarikan kebudayaan atau berupaya menambah pengetahuan di bidang tosan aji. Cocok atau tidak cocok, lihatlah dari ricikan, dhapur dan pamornya untuk menentukan auranya, karena anda tidak mungkin bertanya kepada pembuatnya kecuali anda punya uang untuk memesannya langsung kepada empu.

 Itulah sebabnya menjadi konyol, ketika membeli keris hanya untuk mencari isi, gaib, jin atau setan gundul didalamnya dan membuat orang lain berpikir bahwa hal-hal tersebut sudah sepantasnya dianggap musyrik, menyekutukan Tuhan atau gila sekaligus. Memiliki keris juga harus mempertimbangkan rasionalitas akal sehat seperti kemampuan merawat, meminimalisasi ego dan juga harga yang pantas. Di satu sisi keris adalah barang seni hasil kebudayaan yang sulit diukur dengan uang. Wajar saja jika melihat keris yang tampilan dan bilahnya bagus akan bersifat reaktif dengan langsung membelinya. Sementara di sisi lain, keris juga harus bisa ditakar dengan kantong, kepentingan, prioritas dan jumlah uang yang dikeluarkan. Jika membeli keris yang bagus dengan hitungan jutaan rupiah pada jaman ini adalah termasuk normal. Membeli dengan belasan juta rupiah, berarti anda membeli karya seni. Membeli dengan harga puluhan juta rupiah, anda harus berpikir tentang investasi. membeli dengan harga ratusan juta, berarti anda membeli mimpi dan dongeng dari sebilah keris yang belum tentu sepantas dan selayak itu secara fisik. Jadi, sudah cocok atau belum keris anda sekarang ini?

Keris Dhapur Ngamper Buta Luk 17









[FRS 12] Keris luk 17 Dhapur Ngamper Buta pamor Banyu Tetes/Tirto Tumetes, estimasi tangguh Madura Sepuh Abad XVII, berat 250 gram, panjang 37,2cm, hulu gaya Surakarta, Selut lawasan bahan perak, Mendhak baru bahan perak, Warangka Gayaman  gaya Surakarta dengan kayu Timoho dan pendhok Bunton lapis perak. Sertifikasi Museum Pusaka TMII.

Keris luk 17 di atas termasuk Dhapur Ngamper Buta dan tergolong keris Kalawijan. Cirinya adalah bilah yang tergolong panjang untuk ukuran standar, memiliki kembang kacang, satu lambe gajah, jalen blumbangan dan greneng lengkap. Dhapur ini tergolong langka untuk ukuran keris sepuh, apalagi jika memiliki estimasi tangguh Mataram, sementara untuk tangguh seperti Tuban atau Madura keris Kalawijan lebih mudah ditemui meski kini ada juga keris-keris Kamardikan yang juga mengambil bentuk luk di atas 13.
 
Keris koleksi saya di atas memiliki pamor Banyu Tetes, yang sekilas meredup masuk ke dalam bilah. Bahan bilah sendiri memiliki permukaan yang padat namun agak kasar sebagai ciri garapan Madura sepuh. Selut atau hiasan di hulu merupakan model lama sementara mendhak perak yang lama sudah diganti dengan baru. Warangka keris terbuat dari kayu pilihan yakni Timoho, sementara untuk pendhok lama berbahan alpaka (campuran seng, tembaga dan nikel) sudah diganti pula dengan perak.

Keris Dhapur Sengkelat (2)














[FRS 06] Keris Luk 13 Dhapur Sengkelat Pamor Buntel Mayit estimasi tangguh Madura Kamardikan abad XX, berat 240 gram, panjang 35,2cm, Hulu gaya Yogya, Warangka dan gandar gaya Yogya Kayu Kemuning. Sertifikasi Museum Pusaka TMII.

Keris Kamardikan biasanya memiliki garapan baik halus maupun kasar. Keris koleksi saya di atas adalah keris tangguh Madura dengan garapan kasar; panjang bilahnya berukuran standar tapi cukup berat dan sebenarnya tidak seimbang dengan warangka dan hulu berbahan kayu kemuning. Jika diperhatikan maka sebenarnya bagian ganja tidak sepenuhnya masuk ke dalam warangka. Mengapa demikian? karena ukuran warangka jaman sekarang adalah standar dan tergantung kepada bilahnya. Dengan kata lain, bilah panjang (biasanya maksimal 37-38cm) atau pendek tetap masuk dalam warangka yang sama. Kayu kemuning sangat lunak dan idealnya bisa disetel untuk bilah seperti apapun. Hanya saja, kayu kemuning yang digunakan untuk warangka juga sudah tipis sehingga sulit untuk dibuat lebih tipis lagi. Alternatif lain dengan memasang pendok juga tidak memungkinkan karena sebaliknya akan membuat warangka menjadi tebal. Akhirnya dengan situasi apa adanya, keris di atas masuk ke dalam warangka. Pita merah yang ada bukanlah apa-apa, melainkan sekedar menutup batas kayu antara gandar dengan bilah warangka, karena warangka di atas bukan jenis iras yang menyatu antara keduanya.

Ciri lain dari tangguh Madura era Kamardikan dengan garapan kasar seperti di atas adalah rengkol luknya cukup kaku, bagian sorsoran juga kaku dan tebal, sementara ri pandan dan tingil di ganja bagian belakang juga masih utuh. Pamor juga 'nyekrak' atau berkilau karena bahan nikel yang digunakan cukup banyak, sementara permukaan bilah juga kasar disebabkan jenis pasir besi yang dipakai sebagai bahan keris. Perpaduan bahan tersebut juga memperlihatkan bentuk pamor yang melilit juga menyisakan patahan ketika berbalik ke sisi bilah yang berseberangan.

Pamor Buntel Mayit atau Gubet yang melilit bilah adalah pamor rekan atau buatan. Jaman dahulu pamor jenis ini dihindari oleh banyak orang karena dianggap mempunyai tuah buruk dan pemilih. Jika cocok, maka pamor ini dianggap bisa mendatangkan kekayaan atau kesuksesan bagi pemiliknya. Selain itu ada pula pendapat yang mengatakan bahwa pamor Buntel Mayit memiliki tuah untuk menundukkan orang yang berangasan/pemarah. Terlepas dari persepsi demikian, pada masa sekarang pamor Buntel Mayit justru banyak dicari orang. Mungkin karena semakin dihindari, justru makin banyak juga orang yang penasaran. Akibatnya pasar juga memberikan peluang dengan membuat keris-keris baru dengan pamor seperti itu. Untuk saya pribadi, lebih berpendapat bahwa pamor tersebut awalnya bernama Buntel Mayat, karena mayat dalam bahasa Jawa berarti miring. Jadi sebenarnya definisi yang dimaksud adalah pamor yang melilit (buntel) dan miring (mayat) dari pangkal hingga ujung tosan aji. Pemahaman dengan bahasa Indonesia menyebabkan kata mayat atau jenazah atau tubuh yang sudah mati itu ditafsirkan kembali dengan padanan bahasa Jawanya yakni Mayit. Hal ini sangat menarik dan bisa ditelusuri lebih dalam, meski pada titik ini sudah ada kejelasan dari aspek etimologi atau asal-usul kata. Tujuannya adalah untuk mengupas mitos sehingga sekurangnya mendapatkan kejelasan awal mengapa pamor tersebut dulu dihindari dan sekarang justru malah dicari.

Pembelajaran yang terpenting dengan memiliki satu atau dua keris Kamardikan adalah dapat mengetahui perbedaan-perbedaannya dibandingkan keris sepuh. Hal ini penting karena pembelajaran tidak dapat sepenuhnya diresapi hanya dengan mendengar cerita saja sebagai informasi, tetapi juga memegang, merasakan dan bisa mengetahui perbedaan di antara keduanya.

Rabu, 22 Juni 2011

Keris Dhapur Sepang










[FRS 10] Keris dhapur Sepang pamor Adeg, pamor ganja Mas Kumambang, estimasi tangguh Tuban Madura abad XX, panjang 34,1 cm/berat 180gram, Warangka Ladrang Surakarta kayu Jati Iras pendok Blewah bahan kuningan, deder lawasan gaya Surakarta, mendhak lawasan sudah diganti dengan yang baru. Sertifikasi Museum Pusaka TMII

Dhapur Sepang adalah nama salah satu dhapur keris lurus dengan panjang bilah sedang.  Ada yang mengatakan bahwa cirinya hanya memakai kembang kacang tanpa pejetan dan tanpa ricikan lain. Ada juga pendapat lain yang menyatakan bahwa dhapur Sepang bilahnya simetris, tanpa ricikan, tanpa gandik, kadang-kadang ada tingil kembar di kanan-kiri. Pada keris koleksi saya di atas mungkin lebih masuk pada pendapat kedua. Bagi yang percaya aspek esoteri keris, dhapur Sepang dianggap memiliki tuah yang baik untuk membangun kerukunan suami istri.

Pada bagian bilah keris terdapat pamor Adeg. Pamor ini tergolong pamor pemilih, akan tetapi lebih banyak yang cocok dengannya daripada yang tidak cocok. Jika melihat aspek esoterisnya, tuah pamor Adeg dipercaya sebagai penolak seperti guna-guna, wabah, angin ribut, banjir dan sebagainya. Ada pamor Adeg yang menjadi penolak satu macam tapi ada juga yang beberapa macam.

Sementara pada bagian ganja terdapat pamor tersendiri yakni pamor Mas Kumambang. Pamor ini mirip kue lapis, ada jenis yang memiliki dua lapis bahkan lebih. tuah pamor Mas Kumambang dianggap baik untuk berhubungan dengan banyak orang karena memperlancar pergaulan.

Sabtu, 18 Juni 2011

Tombak Dhapur Kudup Gambir





[FRS 13] Tombak Lurus dhapur Kudup Gambir, pamor Pedaringan Kebak, estimasi tangguh Mataram abad XVI, Panjang Bilah 25cm, Panjang Peksi 19 cm, berat 170 gram, Warangka Kayu Jati, Landeyan Kayu Jati 50 cm. Sertifikasi Museum Pusaka TMII.

Dhapur Kudup Gambir atau Ngudup Gambir adalah salah satu dari 4 macam bentuk ujung sebilah keris atau tombak, menyerupai kuncup Bunga Gambir yang belum mekar, banyak terdapat pada ujung tombak.

Pamor Pendaringan Kebak juga mirip Wos Wutah, tetapi Pendaringan Kebak lebih penuh dan rapat serta nyaris memenuhi seluruh permukaan bilah. Dari bawah sampai ujung bilah dan dari tepi satu ke tepi yang lainnya.

Keris Dhapur Sedhet Luk 15








[FRS 11] Keris Luk 15 Dhapur Sedhet, pamor Ngulit Semangka, estimasi tangguh Madura abad XVI, panjang 34 cm/berat 180 gramWarongko Ladrang gaya Surakarta kayu Sono. Serifikasi Museum Pusaka TMII.

Dhapur Sedhet adalah keris dengan luk 15, panjang bilah sedang, memakai kembang kacang, lambe gajahnya satu, pakai jalen, sogokan rangkap ukuran normal, ricikan lain greneng, ada yang memakai tikel alis, adapula yang tidak.
 
Keris dengan luk di atas 13 termasuk ke dalam dhapur Kalawijan/Palawijan atau di luar normal. Dalam pakem dhapur keris Kraton Surakarta, yang termasuk dalam kalawijan adalah mencapai luk 29. Pada masa sekarang, ada juga keris yang berluk 37. Semua itu tergantung kreasi dari empu atau pande pembuat keris tersebut. Mengapa kalawijan atau palawijan? Jika mengacu kepada penggunaan kata, kalawijan atau palawijan diterapkan misalnya pada bahan pangan non beras. Ada juga penggunaan kata kalawijan terhadap barisan abdi dalem Kraton yang secara fisik di luar normal, seperi albino, cebol dan semacamnya. Demikian pula dengan keris Kalawijan yang di luar normal dengan maksud jumlah luk di atas 13. Ada pendapat bahwa keris Kalawijan dahulu diberikan kepada orang yang di luar normal, dalam arti eksentrik, pintar sekali atau kurang sekali. Mungkin itu pula sebabnya Keris Kalawijan dengan luk di atas 13 juga bukan termasuk keris yang menjadi favorit bagi pihak Kraton. Tidak dapat dibayangkan bahwa para pejabat Kraton memiliki simbol sifat di luar normal sementara feodalisme menuntut kepatutan dalam batas-batas tertentu. Dengan kata lain, luk 13 sudah menjadi titik sempurna untuk ukuran Kraton.

Keris Kalawijan pada masa ini juga memiliki popularitas tersendiri. Akibatnya, pasar pun juga menyesuaikan diri. Oleh karena keris ini langka, maka terjadi pula pemalsuan seperti keris lurus yang dibentuk menjadi banyak luk. Pemalsuan seperti ini sebenarnya bisa dilihat bagi mereka yang terbiasa memegang tosan aji. Pertama, luk tidak luwes. Kedua, ujung keris sepuh biasanya punya posisi miring ke depan atau ke belakang sementara ujung keris palsu tersebut cenderung lurus di tengah. Ketiga, sor-soran atau bagian bawah keris sepuh jika memiliki sogokan tentunya akan bersifat luwes mengikuti luk. Sementara pada keris palsu tampak terlihat kaku dan berpenampilan 'maksa'. Keris era Kamardikan jaman sekarang banyak pula yang berluk lebih dari 13. tentu saja keris baru lebih baik dibandingkan dengan yang 'aspal' tadi.

 Hal yang menarik dari keris koleksi saya di atas adalah kembang kacangnya menutup degan sempurna  Hanya saja pada bagian bilah di tengah hingga ke ujung sudah mengalami korosi. Hal tersebut bisa jadi disebabkan usia yang sudah tua atau juga perawatan yang salah oleh pemilik sebelumnya. Menjamas keris dengan takaran komposisi yang keliru atau penyimpanan di tempat yang salah bisa menyebabkan pengeroposan. Itulah sebabnya bagian lis-lisannya sudah mulai menipis. Hal yang menarik lainnya adalah pada bagian bawah sirah cicak di gonjo seperti foto terbawah, ditemukan adanya rajah tiga titik. Apakah rajah tersebut merupakan 'tanda tangan' sang empu pembuat keris? Sulit untuk dijawab.

Kamis, 16 Juni 2011

Keris = Benda Mistik?

 [Ilustrasi foto dari internet]
Tosan aji seperti keris sudah lama mengalami mistisisme yang berlebihan di Indonesia. Di satu sisi, keris dianggap sebagai benda perdukunan yang berkerabat dengan unsur gaib seperti jin dan makhluk halus lainnya. Keris juga dihubungkan dengan aktivitas di luar nalar seperti bisa terbang dan berpindah tempat seperti yang digambarkan pada sinetron-sinetron murahan. Akibatnya, tosan aji pun secara umum dijauhi, dianggap sebagai bagian dari tabu dan tahyul sehingga siapapun yang memiliki adalah orang yang menyekutukan Tuhan. Banyak keris yang dibuang, dilarung atau dikubur karena rasa takut seperti itu. Sementara di sisi lain, keris juga dicari karena dianggap punya unsur gaib seperti isi, khodam dan kekuatan spiritual lainnya. Konsekuensinya adalah orang mulai melupakan aspek eksoteris sebuah keris dan mengejar sisi esoterisnya sebagai cermin dari rendahnya rasa percaya diri. Keris dianggap boleh saja jelek dan tak terawat, tapi yang penting isinya bisa membuat diri berwibawa dan menimbulkan rasa takut pada orang lain.

Salah kaprah seperti inilah yang harus dikikis oleh para pencinta tosan aji dengan menyebarkan pengetahuan yang mumpuni dan rasional. Misalnya saja keris yang berdiri seperti ilustrasi di atas. Hal tersebut adalah sesuatu yang lumrah dan bisa dilakukan dengan keris yang memiliki tingkat keseimbangan tinggi. Keris sepuh buatan para empu atau pande bahkan pisau dapur pun bisa dibuat berdiri seperti itu. Meski dianggap sebagai mainan kanak-kanak, mendirikan keris butuh konsentrasi, kesabaran dan kedalaman perasaan yang tinggi. Tidak dibutuhkan rapalan, elmu atau aji-aji untuk melakukannya. Pengetahuan yang kurang terhadap hal tersebut membuat khalayak awam mudah dibodohi bahkan ditipu oleh mereka yang memanfaatkan pengetahuan di atas untuk kepentingan komersial.

Pembodohan tersebut tidak saja pada aspek esoteris tetapi juga eksoteris atau fisik tosan aji. Keris yang baru pun bisa dibuat menjadi tua dan seakan-akan dimakan usia. Ditambah pula dengan cerita mengenai 'keris milik Gajah Mada' atau 'ageman terakhir prabu Brawijaya kesekian' untuk menaikan harga jual. Caranya adalah dengan merendam keris baru pada kemalan, yaitu larutan belerang yang dicampur garam dapur serta ditambah air jeruk nipis. Keris yang sudah keropos ditambah dengan dongeng seperti sinetron tentunya juga menjadi menarik buat mereka yang tidak tahu.

'Keris bersinar' adalah trik permainan sulap untuk bisa membuat keris memliki cahaya putih kehijauan dalam keadaan gelap. Caranya? bakarlah bagian korek api yang berfungsi untuk mmenggesek pentol korek. Setelah bagian tersebut terbakar dan menjadi abu, oleskan pada ujung keris. Bagian ini mengandung fosfor jadi ketika lampu padam, keris akan tampak bercahaya diujungnya. Trik lain adalah 'keris berasap'  dengan cara melumuri ujung keris dengan pentol korek api yang telah dihaluskan seperti mesiu. Setelah lampu dipadamkan, ujung keris disulut dengan rokok sehingga akan terbakar menyala dan mengeluarkan asap. Intinya adalah permainan sulap untuk menyakini para penonton. Masih belum percaya?

Rabu, 15 Juni 2011

Keris Dhapur Sengkelat (1)







[FRS 04] Keris luk 13 dhapur Sengkelat, estimasi tangguh Mataram abad XVII, pamor Ngulit Semangka, hulu Yogya, Warangka Branggah/Ladrang kayu Setigi gaya Yogya, berat 200 gram, panjang 37,9cm, Pendok Bunton sepuh perak gaya Yogya. Sertifikasi Museum Pusaka TMII

Keris luk 13 dengan dhapur Sengkelat kebanyakan memiliki bilah yang cukup panjang. Ricikannya adalah memakai kembang kacang, satu lambe gajah dan juga memakai jenggot. Selain itu juga terdapat dua sogokan, sraweyan, ri pandan, greneng, kruwingan. Ada pula yang mengatakan bahwa dhapur Sengkelat tidak memakai jenggot karena jika ada jenggotnya itu dinamakan dhapur Parungsari.

Keris berdhapur Sengkelat juga dianggap memiliki nilai sejarah tersendiri dengan berbagai cerita dan dikaitkan dengan aspek esoterisnya berupa tuah kewibawaan. Itulah sebabnya dhapur jenis ini sangat populer dan ketersediaannya juga banyak. Bilah keris koleksi saya di atas memiliki slorok besi kehijauan sebagai tanda usianya yang cukup tua. Selain itu hal yang menarik adalah luk keris tersebut sangat luwes mengimbangi panjangnya, sebagai indetifikasi yang cukup umum untuk model serupa dari tangguh Mataram.

Tombak estimasi tangguh Mataram







[FRS 05] Tombak luk 11 dhapur Carita/luk 13 dhapur Korowelang(?), pamor Ngulit Semangka, estimasi tangguh Mataram abad XVII, hulu landeyan pendek kayu Sono sepanjang satu hasta, warangka atau tutup tombak kayu Jati, berat 470gram, panjang 39cm, slongsong dan tunjung lapis emas. Sertifikasi Museum Pusaka TMII.

Menimbang dan menilai aspek eksoteris tombak jauh lebih sulit dibandingkan keris. Mengapa demikian? Keris memiliki ricikan yang terperinci dan jelas sementara tombak hanya terdiri dari tiga bagian yakni sor-soran (bagian pangkal), awak-awak dan pucuk. Bentuk sor-soran tombak hingga pucuk tersebut sangat variatif dan begitu juga dengan dhapur serta bilahnya (ada bilah tunggal hingga Pancasula yang berbilah lima sementara bilah keris hanya satu). 

Itulah sebabnya menghitung luk pada tombak bukan perkara yang mudah seperti pada bilah keris. Contoh yang jelas adalah koleksi saya di atas. Ada yang mengatakan bahwa dhapur tombak tersebut adalah Carita karena jumlah luknya sebelas. Saya pribadi berpendapat bahwa tombak koleksi di atas adalah berluk 13 dengan demikian juga dhapurnya adalah Korowelang karena berbentuk seperti ular meski ada juga Korowelang yang berluk 9 atau 11. Bilah tombak di atas cukup panjang namun untuk alasan praktis, landeyan atau kayu tangkai tombak yang digunakan hanya berukuran pendek. Kayu Sono cukup ringan namun sepertinya tidak sebanding dengan kayu Jati sebagai tutup tombak yang jauh lebih berat. Akibatnya, berat tombak bisa menjadi tidak seimbang. Selain itu, kelemahan kayu Jati yang berat itu bisa membuat tombak menjadi macet untuk bisa dikeluarkan dari slongsongnya.

Sementara pamor Ngulit Semangka adalah jenis pamor mlumah dan umum terdapat pada tosan aji. Pamor ini coraknya seperti kulit semangka dan dari aspek esoteris dianggap sebagai pamor yang tidak pemilih, memudahkan jalan mencari rejeki dan mudah bergaul dengan siapa saja dari golongan manapun.



Keris Dhapur Sempana








[FRS 09] Keris luk 7 dhapur Sempana Panjul(?)/Bungkem(?), estimasi tangguh Madura Sepuh abad XVII, Hulu Surakarta, Warangka Ladrang gaya Surakarta kayu Cendana, berat 270 gram, panjang 36,5cm, Pendok Bunton gaya Surakarta. Sertifikasi Museum Pusaka TMII.

Keris dhapur Sempana tergolong banyak ragamnya karena ada yang  luk tujuh dan luk sembilan. Keris koleksi saya di atas merupakan keris Madura Sepuh tapi meniru gaya Mataram pada jamannya. Bobotnya yang lumayan berat dan kokoh menjadi salah satu ciri pembeda dengan keris tangguh Mataram yang umumnya ringan dan ramping. Pertanyaan yang masih menyisa adalah soal jenis dhapur Sempana yang seperti apa pada keris tersebut. Ada yang mengatakan bahwa dhapur Sempana di atas adalah Sempana Panjul atau Manyul karena kembang kacangnya tidak bungkem. Berdasarkan pakem, pada kategori luk 7 memang hanya ada dua jenis Sempana yakni Panjul dan Bungkem. Saya pribadi lebih menilainya sebagai Sempana Bungkem, bukan karena kembang kacangnya nyaris melengkung dan menutup alias bungkem, tetapi karena keris tersebut tidak memiliki lambe gajah seperti jenis Panjul seperti yang tergambar dalam pakem dhapur keris Keraton Surakarta tahun 1920.

Perbedaan yang spesifik di antara keduanya adalah dhapur Sempana Panjul memakai kembang kacang, sraweyan, ri pandan dan greneng. Jenis dhapur ini juga tergolong langka dan agak jarang dijumpai. Sementara Sempana Bungkem juga memakai kembang kacang hanya saja kembang kacang seperti di gambar pertama itu menutup dengan sempurna alias bungkem.

Sebagai catatan, dhapur Sempana Bungkem dari sisi esoteris tergolong sebagai keris yang cukup populer karena disukai oleh jaksa atau pembela perkara karena katanya dapat 'membungkam' atau mmepengaruhi lawan bicara. Konsekuensi pasar dari popularitas semacam ini adalah pemalsuan yang cukup banyak terhadap keris luk tujuh yang kembang kacangnya dibentuk ulang dari yang tidak bungkem menjadi bungkem.  




Keris Dhapur Brojol








[FRS 07] Keris lurus dhapur Brojol, estimasi tangguh Madura Abad XIX, Pamor Wos Wutah/ Mrutu Sewu (?), Hulu Yogya, Warangka Gayaman Yogya kayu Timoho, berat 220 gram/panjang 30.4 cm, pendok Bunton gaya Yogya. Sertifikasi Museum Pusaka TMII.

Keris dhapur Brojol adalah salah satu versi keris berdhapur lurus dengan bilah pendek/sedang, gandik polos, memakai pejetan dan dalam beberapa versi ada yang memakai ganja iras tanpa ricikan lainnya. Bedanya dengan keris dhapur Tilam Upih, pada dhapur Brojol tidak ada tikel alis. Bagi yang mempercayai aspek esoteris keris ini, dhapur Brojol dianggap cocok bagi dukun beranak/bidan atau wanita hamil supaya selamat saat melahirkan. hal tersebut mungkin disebabkan karena arti kata 'brojol' dalam bahasa Jawa adalah 'lahir' dan makna filosofis yang ada bisa digali lebih dalam.

Keris dhapur Brojol koleksi saya di atas termasuk dalam bilah yang sedang (30cm) dan berpamor sangat penuh dari bagian ganja hingga ujung keris. Pamor yang ada dalam keris tersebut adalah pamor Wos Wutah, namun ada juga mengatakan bahwa pamornya adalah  Mrutu Sewu. Hal ini bisa saja terjadi dalam mengamati aspek eksoteris sebuah keris karena perbedaan referensi, pengamatan dan perasaan. Saya menggarisbawahi bahwa menilai aspek fisik sebuah keris tidaklah sederhana, apalagi aspek esoterisnya. Sebagai catatan, pamor Mrutu Sewu adalah pamor dengan kumpulan garis dan bulatan yang saling berdekatan sehingga tampak kompleks. Pamor Mrutu Sewu biasanya terlepas dari pangkal sampai ujung bilah, termasuk pamor mlumah, tidak pemilih dan dianggap memiliki tuah untuk pergaulan. Ada juga yang mengatakan bahwa pamor Mrutu Sewu baik untuk gadis atau janda yang ingin mendapatkan jodoh. Menurut anda?