Rabu, 27 Juli 2011

Keris Dhapur Damar Murub









[FRS 20] Keris luk 1 dhapur Damar Murub pamor Wos Wutah, estimasi tangguh Mataram abad XV, panjang 33,6cm/berat  170gram, warangka Ladrang Surakarta lamen kayu Jati Gembol, pendok Blewah lapis emas model Surakarta. Sertifikasi Museum Pusaka Taman Mini Indonesia Indah.

Keris dhapur Damar Murub atau disebut juga Urubing Dilah (bahasa Indonesia: obor atau lampu minyak yang menyala) adalah nama salah satu dhapur luk satu, walau ada juga yang menggolongkannya sebagai keris lurus atau bahkan luk tiga. Sor-soran pada keris ini bisa berdhapur apa saja tetapi disebut  Damar Murub  karena di pucuk keris ada luk yang menyerupai nyala api. Dengan demikian keris ini mudah dikenali, terutama dengan adanya luk seperti itu dipucuk bilah. Keris ini tergolong langka dan koleksi saya diatas memiliki sor-soran dhapur Sempaner sehingga kombinasi yang ada dapat disebut pula dengan dhapur Sempaner Urubing Dilah. Kombinasi seperti ini berlaku juga unruk keris lainnya sehingga ada juga dhapur Laler Mengeng Urubing Dilah atau Pudhak Sategal Urubing Dilah. Simbolisme keris luk 1 seperti diketahui adalah melambangkan keingintahuan terhadap spiritualisme.

Keris Dhapur Tilam Sari






[FRS 19] Keris lurus dhapur Tilam Sari pamor Wengkon Akhodiyat, estimasi tangguh Pajang, abad XVI, panjang 33,7cm/berat 210 gram, warangka Gayaman Yogya kayu Kemuning, pendok Bunton lapis emas model Yogya. Sertifikasi Museum Pusaka Taman Mini Indonesia Indah.

Dhapur Tilam Sari (bahasa Indonesia: tempat tidur penuh bunga) adalah salah satu bentuk dhapur keris lurus yang banyak dijumpai di pulau Jawa. Bentuk keris itu sangat serupa dengan dhapur Tilam Upih yakni sama-sama memiliki gandik polos ukuran normal, tikel alis dan pejetan. Bedanya keris dhapur Tilam Sari memakai tingil yakni tonjolan kecil di ekor ganja, sementara dhapur Tilam Upih tidak menggunakan tingil. Bilah dhapur Tilam Sari umumnya tipis, permukaannya rata karena tidak memakai ada-ada maupun gusen. Sebagian pecinta keris beranggapan bahwa dhapur Tilam Sari baik untuk pria yang telah berkeluarga karena angsarnya membawa keteduhan dan ketentraman keluarga.

Pamor Wengkon (bahasa Indonesia: bingkai) atau disebut juga Tepen (bahasa Indonesia: tepi) adalah nama pamor yang gambarnya menyerupai bentuk bingkai di sepanjang tepi bilah keris. Pamor ini tergolong pamor rekan, yakni pamor yang bentuknya dirancang lebih dahulu oleh empunya. Dari cara pembuatannya, pamor Wengkon ada dua macam yakni pamor mlumah dan pamor miring. Oleh mereka yang percaya aspek esoteri keris, pamor ini dinilai mempunyai tuah untuk membantu pemiliknya lebih hemat, tahan segala godaan, dan manfaat lainnya. Pamor ini tergolong tidak pemilih, siapa saja dapat memilikinya. Walau tampaknya sederhana, pamor Wengkon termasuk sulit dibuat. Hanya empu yang sudah banyak pengalaman yang sanggup membuat pamor ini secara konstan berjarak tetap dengan garis tepi bilah.

Sedangkan pamor Akhodiyat adalah bagian dari kelompok pamor yang memiliki kecemerlangan yang lebih pada daripada pamor disekitarnya di permukaan bilah. Bagian yang lebih cemerlang atau berkilau itu itu disebut pamor Akhodiyat yang tampak seperti lelehan logam keperak-perakan. Pamor akhodiyat terjadi karena suhu yang tepat pada saat penempaan atau pada tahap akhir penempaan. Dengan demikian pamor tersebut bukan terbuat dari logam perak seperti yang diduga banyak orang. Pamor Akhodiyat tergolong pamor tiban yang tidak direncanakan dan seringkali pamor ini disebut juga pamor Akordiat atau Kodiat. Orang Madura dan Jawa Timur menyebutnya dengan Pamor Deling.

Keris koleksi saya diatas memiliki garis pamor yang cukup tebal dan tidak terputus dikedua sisi. Hanya saja saya masih belum bisa membedakan apakah pamor tersebut tergolong pamor mlumah (pamor yang lapisan besinya sejajar dengan permukaan keris) atau pamor miring (pamor yang lapisan besinya tegal lurus dengan permukaan bilah keris) mengingat ganjanya wulung atau berwarna hitam, sehingga tidak dapat dilihat begitu saja. 

Keris Dhapur Dhuwung








[FRS 21] Keris luk 3 dhapur Dhuwung pamor Sumur Bandung, estimasi tangguh Madura Sepuh abad XIV, panjang 32cm/berat 140 gram, warangka Gayaman Maduralamen kayu Timoho, pendok Blewah lapis emas beludru merah model Surakarta. Sertifikasi Museum Pusaka Taman Mini Indonesia Indah.

Keris Dhapur Dhuwung memiliki ricikan berupa gandik lugas dan pejetan, sementara bagian wadidang atau bagian belakang keris bersifat tumpul. Sebagai catatan dhapur Dhuwung ada yang berbilah lurus dan ada juga yang luk 3 seperti koleksi saya diatas.

Pamor Sumur Bandung sebenarnya adalah pamor yang membingungkan karena ada dua versi yang dianggap benar. Versi pertama mirip dengan pamor Pedaringan kebak hanya memiliki bulatan-bulatan kosong ditengahnya dengan jumlah tiga, empat bahkan enam bulatan. Koleksi saya sepertinya termasuk dalam versi ini karena memiliki bulatan-bulatan tersebut. Versi kedua adalah pamor titipan berupa lingkaran-lingkaran bersusun dengan diameter kira-kira 2cm. Jadi versi kedua ini kira-kira merupakan kebalikan dari versi pertama. Untuk pamor Sumur Bandung versi pertama, bisa tergolong pamor rekan (direncanakan oleh empu) atau tiban (tidak direncanakan sehingga pola tersebut muncul begitu saja). Sementara versi yang kedua yang merupakan bulatan adalah pamor rekan yang memang gambarnya sengajat dirancang oleh empu. Bagi yang percaya aspek esoteri pamor Sumur Bandung terutama yang tiban dipercaya mempunyai tuah yang dapat membuat pemiliknya mudah mempelajari ilmu-ilmu kesaktian dan kekebalan.

Keris dhapur Dhuwung sendiri tergolong keris yang langka. Koleksi saya diatas memiliki dentingan bilah yang cukup bagus, tetapi pamornya bersifat nggajih (menyerupai lemak) yakni memiliki kualitas yang kurang baik. Awalnya, pendok warangka juga bergaya Madura, namun karena sudah rusak dan tidak ada ketersediaan gaya tersebut maka pendok di atas dimodifikasi dengan mengambil gaya Surakarta yang lebar sehingga dapat disesuaikan.

Selasa, 19 Juli 2011

Tips Merawat Tosan Aji

Jika anda sudah memilih dan memiliki tosan aji, sudah sepatutnya anda merawatnya pula. Perawatan tosan aji pada masa sekarang mau tidak mau harus dibuat sepraktis dan seefisien mungkin. Mengapa demikian? Banyak orang tinggal di kota-kota besar dan kecil dengan kesibukan yang berbeda-beda. Buat anda yang tinggal di kota besar dan sibuk dengan pekerjaan, tak perlu berkecil hati merasa tidak punya waktu untuk merawat tosan aji milik anda. Janganlah membayangkan perawatan tosan aji penuh dengan ritual, prosesi dan biaya mahal karena harus menyiapkan sesaji macam-macam. Itu hanya berlaku di tempat-tempat seperti kraton yang memang punya tuntutan seperti demikian. Dengan alasan kepraktisan dan efisiensi itulah perawatan tetap bisa berjalan. Berikut beberapa tips perawatan tosan aji:
  1. Perawatan tosan aji lebih baik dilakukan di ruang terbuka atau ruangan dengan jendela terbuka agar sirkulasi udara tetap terjaga. Tosan aji seperti keris atau tombak terlebih dahulu dibuka satu persatu mulai dari warangka, pendok, landeyan, dan deder-nya. Siapkan terlebih dahulu pembersih logam dan kayu, sikat gigi bekas, tisu, koran serta lap tebal berbahan handuk. Gosoklah logam seperti kuningan, lapis perak atau emas dengan sikat gigi bekas dan pembersih logam secara perlahan. Biarkan beberapa detik agar pembersih benar-benar mengangkat kotoran logam. Kemudian logam dilap dengan tisu, kertas koran atau kain tebal. Jika pembersih terlalu keras dengan kadar ammoniak cukup tinggi, ada baiknya siapkan juga sarung tangan karet yang bisa dibeli di apotik. Hal yang sama juga anda lakukan terhadap kayu dengan menggunakan pembersih yang berbeda. Pembersihan kelengkapan tosan aji seperti ini kerap dilupakan; orang cenderung memperhatikan bilahnya saja sementara kelengkapan seperti warangka/sarung, deder/gagang, atau landeyan/gagang tombak jarang dibersihkan. Padahal bilah yang bagus juga membutuhkan tempat yang bagus dan terpelihara. Periksalah apakah kelengkapan tersebut masih utuh karena seringkali logam menjadi kusam dan kayu melapuk jika tidak merawat. Lebih parah lagi, warangka keris/tombak juga sering menjadi sarang kutu yang mempercepat proses pelapukan jika perawatan diabaikan. Jika anda ingin memasang bilah ke deder atau landeyan kembali, sediakan pula benang wol untuk ikatan pada peksi agar bilah bisa masuk secara pas ke dalam deder/landeyan. Pada jaman dahulu, cara untuk memasukan peksi ke dalam deder adalah dengan menggunakan lilitan rambut manusia (biasanya rambut pemiliknya karena pada jaman dahulu gaya rambut masih panjang) atau menggunakan lak. Kedua cara tersebut kini sudah tidak dimungkinkan; gaya rambut sudah pendek dan lak sulit untuk dibuka kecuali dengan memanaskan deder/landeyan di atas api dan berpotensi merusaknya.
  2. Jika warangka dan kelengkapan tosan aji sudah dibersihkan, kini giliran bilahnya. Bilah keris atau tombak memang harus diminyaki. Tidak perlu menunggu hari atau bulan tertentu untuk meminyaki. Jika anda melihat minyak di bilah sudah mengering dari proses perawatan sebelumnya, ada baiknya hal itu dilakukan. Minyak mencegah karat dan juga menjaga kelembaban pada bilah dan peksi. Gunakan kuas ukuran sedang dan minyak bisa menggunakan minyak kelapa, minyak sayur atau bahkan minyak pembersih 'Singer'. Untuk jenis yang terakhir ini sebagian pencinta keris enggan menggunakannya karena ada mitos bahwa tuah tosan aji miliknya menjadi berkurang. Minyak yang digunakan tersebut dicampur terlebih dahulu dengan minyak wangi non alkohol beraroma seperti cendana, melati, mawar atau apapun. Perbandingannya bisa 2:1 atau terserah sesuai dengan selera anda. Pencampuran dengan minyak wangi non alkohol beraroma seperti itu bukan karena alasan mistik, melainkan agar minyak kelapa atau minyak sayur tadi tidak berbau tengik setelah digunakan. Sangat tidak disarankan menggunakan minyak wangi non alkohol seperti minyak misik, zafaron atau sejenis. Bagi yang percaya tuah, minyak wangi dari Arab itu sering digunakan tapi efeknya adalah membuat bilah menjadi lengket. Jika bilah lengket, maka seringkali bilah menjadi sulit untuk dikeluarkan dari warangka. Terlebih lagi sifat lengket tersebut mengundang debu dan kutu untuk bersarang di dalam warangka. Jika tidak ingin repot, pesan saja minyak untuk perawatan tosan aji yang sudah siap pakai melalui mranggi atau tempat pembuatan/penjualan tosan aji yang anda ketahui. Setelah anda minyaki sendiri, biarkan beberapa saat sebelum masuk kembali ke dalam warangka atau jika tidak punya waktu bisa dikeringkan dengan kertas koran bekas.
  3. Ada kalanya tosan aji yang anda miliki juga harus dicuci dan dijamas. Sebenarnya ini juga sudah praktis karena anda tinggal membawanya ke tempat-tempat yang menyediakan jasa untuk mencuci dan menjamas. Sekali lagi, tidak ada hari atau bulan tertentu yang mewajibkan anda mencuci atau menjamas tosan aji. Lihat saja kondisi bilah apakah memang memerlukan atau tidak. Biasanya, pencucian dan penjamasan idealnya dilakukan pada saat pertama kali anda memiliki tosan aji tersebut. Mitos yang terbentuk mengatakan bahwa tosan aji harus dicuci dan dijamas setiap bulan Suro atau Maulud. Itu hanya soal kepercayaan dan biaya tentunya. Bilah dengan logam berkualitas bagus biasanya hanya membutuhkan 4-5 tahun sekali untuk dicuci dan dijamas. Jika anda ingin mencuci tosan aji sendiri, maka cara yang paling baik adalah merendamnya dengan air kelapa tua dicampur sedikit parutan nanas sekurangnya selama satu malam. Jika bilah masih tampak kotor, proses ini bisa diulang kembali. Kemudian gosoklah dengan jeruk nipis kecil (orang Jawa menyebutnya dengan jeruk pecel) secara perlahan hingga bilah memutih. Biarkan bilah sebentar hingga mengering dengan sendirinya. Selanjutnya adalah proses penjamasan dengan mewarangi bilah. Ini proses yang sangat sulit meski bahan warangan baik berupa bubuk maupun yang sudah berbentuk cair dalam botolan bisa dipesan. Jika mewarangi terlalu banyak maka bilah menjadi tampak gelap dan pamor tidak keluar. Proses mewarangi berguna untuk mengeluarkan kilau pamor sekaligus mencegah bilah dari proses karat. Setelah diwarangi, baru proses meminyaki pusaka dimulai. Masih belum punya waktu untuk melakukannya? Serahkan saja pada ahlinya :)

Senin, 18 Juli 2011

Tips Memilih dan Memiliki Tosan Aji

Tujuan memilih dan memiliki tosan aji bisa sangat beragam. Ada yang karena dilandasi kekaguman terhadap karya yang dilakukan di masa silam, ada yang karena ingin melestarikan hasil budaya bangsa, ada yang karena alasan investasi dan ada juga yang karena mencari tuah. Untuk alasan terakhir sama sekali tidak disarankan bukan karena alasan dosa, tetapi yang lebih utama dan sering tidak disadari adalah karena rawan penipuan dan berujung kepada kerugian material. Mereka yang mencari tuah seringkali harus mengeluarkan biaya besar yang tidak seimbang. Saya pernah mendengar seorang kolektor menyuruh orang-orangnya mencari pusaka tombak Banyak Angrem tangguh Majapahit. Setelah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit membayar orang kesana kemari, yang didapat akhirnya hanya tombak Kuntul Nglangak tangguh Madura baru.

Mengapa bisa demikian? Padahal, beberapa penjual keris yang saya kenal memiliki tombak Banyak Angrem. Pertama, karena ketidaktahuan dan keabaian si kolektor untuk mau mencari sendiri. Toh jika mau belajar untuk bisa memahami perbedaan ricikan dan dapur sebuah tosan aji serta mencari informasi lebih detail, kerugian itu bisa dihindari. Tidak mau belajar, tidak mau bersusah payah dan bahkan hanya karena mendengar namanya, kontan si kolektor yang punya uang bisa menyuruh orang-orangnya. Buat saya itu kesia-siaan karena mengeluarkan uang hanya mengandalkan pendengarannya saja.

 Alasan lain yang juga harus dihindari saat memilih dan memiliki tosan aji adalah karena mengikuti trend atau mode. Sejalan dengan perkembangan dunia perkerisan saat ini, banyak para kolektor yang juga fanatik terhadap dhapur dan tangguh tertentu. Misalnya saja dhapur Pasopati atau tangguh Sedayu. Dhapur Pasopati cukup populer tetapi ketersediaannya di pasar lebih sedikit. Sementara tangguh Sedayu dikenal sebagai keris dengan garapan yang sangat bagus; besi yang pulen, halus dan benar-benar bagus. Akibatnya seeringkali untuk memenuhi permintaan pasar, banyak muncul keris yang dipermak untuk menaikkan harga jual. Dhapur Kalamisani yang ketersediaannya lebih banyak kemudian dimodifikasi kembang kacangnya menjadi kembang kacang pogog agar menyerupai dhapur Pasopati. Lebih parah lagi misalnya keris lurus dibuat berluk banyak seperti 15 dan 17 ke atas untuk memenuhi kebutuhan pasar seperti itu. Sama halnya dengan tangguh favorit yang kemudian muncul tiruan baru yang benar-benar mirip. Pembedaan hanya bisa dilakukan secara fisik dalam arti si kolektor harus punya jam terbang tinggi untuk bisa membedakan beragam dhapur dan tangguh.

Sebagai kolektor pemula yang masih ingusan, saya berpegang kepada beberapa tips di bawah ini:
  1. Ada pedoman standar berupa kriteria fisik berupa istilah TUS (tangguh, utuh sepuh) yang artinya seseorang yang ingin memilih dan memiliki tosan aji haruslah memahami tangguh kapan itu dibuat, tosan aji yang diinginkan juga harus dalam keadaan utuh secara fisik dan juga usia tosan aji itu dipastikan tua. Untuk aspek yang terakhir tidak berlaku jika ingin memiliki keris atau tombak buatan baru (biasanya digolongkan sebagai tangguh Kamardikan atau buatan setelah tahun 1945). Selain istilah TUS ada juga istilah yang berdasarkan kriteria emosional seperti 3G2W yakni Gebyar Greget Guwaya Wingit Wibawa dan juga kriteria spiritual seperti AST yakni Angsar Sejarah Tayuh. Akan tetapi kedua kriteria ini jelas bersifat subyektif sehingga pembuktiannya akan berbeda antara satu orang dengan lainnya, sehingga kriteria fisik tetap harus menjadi pegangan utama dalam memilih dan memiliki tosan aji.
  2. Dengan demikian syarat pertama memilih dan memiliki tosan aji adalah  tidak cacat fisik. Pengertian cacat fisik disini adalah mengikuti pakem yang berlaku yakni keris/tombak tidak patah, ricikan masih lengkap, kembang kacang, bilah dan pesi masih utuh. Ada tuntunan pakem yang berlaku dan harus dihindari misalnya Pegat Waja (bilah keris/tombak rengat seperti tripleks basah), Nyangkem Kodok (antara bilah dan ganja di bagian greneng terbuka lebar), Randa Beser (antara bilah dan ganja di bagian bungkul terdapat rongga) dan Pamengkang Jagad (retak terutama di bagian sorsoran). Untuk Pamengkang Jagad, kriteria ini tidak berlaku bagi mereka yang mencari keris berdasarkan kriteria spiritual. Berbeda dengan pihak Kraton yang menghindari keris retakl pasar justru menyediakan keris yang dianggap cacat di bagian ini atau combong dengan istilah keren Pamengkang Jagad dan banyak dicari orang bahkan terutama di negara tetangga lantaran dikenal sebagai sarana untuk 'asihan'.
  3. Lantas jika prasyarat fisik sudah diketahui, bagaimana dengan soal tangguh? Menangguh keris jelas butuh pengalaman dalam memegang banyak keris agar bisa mengetahui tangguh meski hanya perkiraan (lihat tulisan saya yang lain di blog ini tentang Tangguh Keris). Seringkali ini menjadi sumber sengketa antara pembeli dan penjual tosan aji karena kesalahan baik yang tidak disengaja atau sengara dalam hal menangguh keris. Penjual yang kurang berpengalaman bisa saja salah dalam menangguh keris, sementara ada juga yang nakal dengan mengatakan keris baru adalah keris tua apalagi jika sudah melalui proses kamalan yakni membuat bilah menjadi keropos dengan larutan kimia sehingga terlihat tampak tua. Hal yang mungkin bisa dilakukan pada tahap ini adalah dengan belajar sebanyak-banyaknya memegang bilah keris.
  4. Pengamatan selanjutnya adalah dengan mengamati kandungan logam dengan memperhatikan bobot keris. Itu sebabnya menjadi penting bagi pihak penjual agar tidak saja menampilkan tosan aji berdasarkan kriteria panjang dan lebar tetapi juga beratnya. Ada kesepakatan umum bahwa semakin ringan bobot sebuah keris, maka kualitasnya juga semakin baik. Sama halnya dengan bilah yang semakin lama nyaring jika dijentik, maka kualitasnya juga bagus. Oleh karena itu, penting untuk bisa membedakan baik buruknya kandungan logam secara awam dalam empat kategori yakni (a) logam dengan kesan basah hingga kering, (b) logam dengan kesan rabaan halus hingga kasar, (c) logam yang berurat hingga mulus dan (d) logam dengan kesan padat hingga berpori.

CONTOH PENGAMATAN PERMUKAAN FISIK TOSAN AJI



 Halus, Basah, Keras, Sangat Tahan Karat





Berserat, Keras, Tahan Karat



Kasar, Keras, Kurang Tahan Karat



Halus, Basah, Liat, Tahan Karat




Kasar, Kering, Kesan Berpori



Halus, Berpasir, Kurang Tahan Karat



Selain beberapa tips diatas dalam memilih dan memiliki tosan aji, hal penting lainnya adalah lebih baik memulai dengan dhapur tosan aji baik keris atau tombak yang sederhana terlebih dahulu. Selain masih aman dari unsur penipuan, kerumitan dan juga hasrat yang berlebih, keris dengan dhapur sederhana seperti Brojol atau Tilam Upih merupakan awal yang baik dalam mempelajari ricikan dan pengenalan tosan aji seperti di atas. Simbolisme dhapur Brojol berupa kelahiran atau Tilam Upih berupa laku kehidupan prihatin juga memiliki posisi tersendiri dalam diri kolektor pemula seperti saya.

Banyak bertanya dan menggali informasi dari sumber-sumber tertulis juga sangat membantu. Pada saat ini sudah banyak literatur atau referensi baik lama maupun baru yang diterbitkan maupun bisa diunduh online. Penerjemahan beberapa sumber tertulis mengenai ricikan keris, dhapur dan pamor juga memperkaya referensi yang sangat berguna ketika akan memilih dan mengoleksi keris. Mengikuti perkumpulan juga merupakan cara yang cukup baik jika anda tahan dengan mentalisme paguyuban ala Hobbesian Jawa. Saya pribadi menghindari bentuk seperti ini karena seperti halnya kolektor benda-benda lain, banyak orang dengan ego yang cukup besar untuk tidak mau disaingi oleh para pemula. Terlebih jika tosan aji adalah benda yang masih suka dikaitkan dengan pancarian spiritual. Dari awal bicara soal keris kontan bisa mendadak hanya membahas soal 'isi'. Saya pribadi lebih suka berkunjung ke museum dan bisa bertanya apa saja disana, dibandingkan mengikuti orang-orang yang merasa dirinya senior yang dengan segala kerendahan hati enggan mengakui tapi menikmati keberadaan seperti itu.

Hal yang tidak kalah pentingnya adalah mengetahui segala sesuatu yang berkaitan secara langsung dengan tosan aji seperti pemesanan dan pembuatan warangka serta pembelian perangkat lain yang anda butuhkan. Disini logika pasar masih tetap bermain. Anda harus paham betul harga dan kualitas kayu, emas, perak bahkan jual beli perangkat yang dibutuhkan sebagai pelengkap seperti jagrak, ploncon, blawong, sandangan dan sejenisnya. Untuk kualitas massal di Jakarta, pasar Rawabening adalah tempatnya. Disana bisa juga untuk mencuci dan mewarangi tosan aji. Sementara Museum Pusaka TMII menawarkan harga dan kualitas lebih tinggi dan juga menjual perangkat seperti mendak, pendok. Bursa tosan aji dengan sertifikasi dan keaslian yang terjamin juga tersedia meski relatif juga lebih mahal. 

Apapun itu, semua tergantung lagi kepada isi kantong, niat dan juga kemampuan anda berhadapan dengan ego sendiri bukan?  


Jumat, 15 Juli 2011

Istilah dan Ciri Bilah Keris

Keris Dhapur Sabuk Inten








[FRS 18] Keris Luk 11 dhapur Sabuk Inten pamor Tunggak Semi, estimasi tangguh Mataram Senopaten Abad XV, berat 120 gram, panjang 34,7 cm, warangka model Gayaman Surakarta kayu Timoho, pendok Bunton kuningan Surakarta, mendak dan deder lawasan. Sertifikasi Museum Pusaka TMII

Keris dhapur Sabuk Inten (bahasa Indonesia: berikat pinggang permata) adalah salah satu dhapur keris luk 11 dengan permukaan bilah nglimpa, menggunakan kembang kacang, lambe gajah dua, sogokan rangkap, sraweyan, ri pandan atau greneng. Nama dhapur Sabuk Inten menjadi terkenal sejak tahun 1970-an karena disebut-sebut dalam buku cerita silat Jawa yang berjudul Nagasasra Sabuk inten karya SH Mintardja. Keris dhapur ini populer sekali di kalangan kolektor terutama juga para pebisnis, yang percaya terhadap aspek esoteris dhapur Sabuk Inten. Mereka yang percaya beranggapan bahwa dhapur Sabuk Inten berpengaruh terhadap perkembangan dan kelancaran bisnis.

Sebagai catatan, ada pula keris dhapur  lain yang bentuknya amat mirip dengan dhapur Sabuk Inten yakni dhapur Carita Keprabon. Jumlah luknya juga sebelas, ricikan hampir sama kecuali pada ricikan gusen. Carita Keprabon memakai gusen dan lis-lisan, sedangkan keris dhapur Sabuk Inten tidak menggunakannya.

Keris dhapur Sabuk Inten koleksi saya di atas memiliki pamor Tunggak Semi, yang merupakan salah satu motif pamor yang terletak di bagis sor-soran bilah keris. bentuknya merupakan garis tidak beraturan, berlapis dan pada bagian ujung bentuk itu seolah 'tumbuh' lagi bentuk pamor yang lain seperti tunas bersemi. Aspek esoteris dari pamor ini disukai oleh para pedagang dan pemutar modal karena mereka percaya bahwa tuah pamor ini dapat membantu usaha mereka. Pamor Tunggak Semi tergolong pamor mlumah dari pembuatannya dan juga pamor tiban karena tidak dirancang terlebih dahulu oleh sang empu.

Selain itu, keris koleksi saya di atas, juga termasuk cukup tua yakni era Mataram Senopaten atau Mataram awal. hal tersebut dapat dilihat dari bentuk bilah yang ramping dan semakin mengecil ke atas, ganja yang memanjang, serta bilah yang hitam kebiruan dan padat.



Kamis, 14 Juli 2011

Keris Dhapur Kalamisani






[FRS 17] Keris lurus dhapur Kalamisani, pamor Dwiwarna (Untu Walang dan Wiji Timun), ganja Mas Kumambang,  estimasi Tangguh Mataram Abad XIX, berat 220 gram, panjang 34,8 cm. Warangka model Gayaman Surakarta gandar iras kayu Kemuning bang lamen, Pendok emas baru model Blewahan Surakarta, mendak perak matan Yakut, deder Wanda Yudhowinatan Surakarta lamen. Sertifikasi Museum Pusaka TMII.

Keris dhapur Kalamisani (bahasa Indonesia: Raksasa Berbisa) merupakan dhapur keris lurus yang cukup populer dengan ricikan berupa kembang kacang, lambe gajah dua, tikel alis, gusen, kruwingan dan greneng. Biasanya bilah juga menggunakan ada-ada. Dalam pewayangan ada juga keris Kalamisani milik Gatotkaca tapi itu tidak ada hubungannya dengan dunia perkerisan yang kita kenal.

Keris koleksi saya diatas memiliki beberapa ciri khas yang cukup unik. Pertama, pamornya ada dua (dwiwarna) yakni Untuwalang dan Wiji Timun. Pamor Untuwalang (bahasa Indonesia: Gigi Belalang) adalah salah satu motif pamor yang bentuknya menyerupai pamor Tepen atau Wengkon. Sepertinya halnya bingkai, pamor Untuwalang memiliki garis tepi hanya saja garis tersebut bergelombang membentuk gambar serupa mata gergaji atau gigi belalang. Bagi yang percaya aspek esoteris, pamor Untuwalang tergolong pamor rekan yang pemilih. Tidak semua orang cocok untuk memilikinya. Oleh sebagian pencinta keris, pamor ini dianggap bertuah untuk membuat pemiliknya menjadi tokoh yang dipercaya dan dianggap pemimpin oleh orang-orang sekitarnya. Kata-katanya akan didengar dan ditaati. Oleh karena itu banyak yang beranggapan bahwa pemilik yang paling sesuai bagi keris ini adalah guru, pendidik atau pemimpin masyarakat. Pamor yang kedua adalah pamor Wiji Timun (bahasa Indonesia: Biji Ketimun) yang tergolong pamor mlumah dan rekan. Bagi yang percaya aspek esoteris, pamor ini memiliki tuah yang dapat membuat pemiliknya memiliki wibawa dan ketenaran dalam lingkungan masyarakat.

Selain pamor, ciri khas yang kedua dari keris koleksi saya di atas adalah ganjanya yang berpamor Mas Kumambang. bentuknya merupakan garis mendatar yang berlapis-lapis. Pamor tersebut membuat keris menjadi semakin indah untuk dilihat. Sementara aspek esoterisnya mengatakan bahwa pamor tersebut membuat pemiliknya bisa bergaul dengan kalangan atas maupun bawah. 

Terlepas dari aspek esoteris, hal yang dapat ditarik kesimpulan adalah pembuatan sebilah keris seperti contoh diatas jelas memiliki tujuan dan pengharapan yang baik dari empu dan pemiliknya yang terdahulu. Semangat seperti itulah yang harus dipelihara oleh saya sebagai pemiliknya di masa kini.




Keris Dhapur Pasopati







[FRS 16] Keris lurus dhapur Pasopati pamor Tunggak Semi, estimasi Tangguh Madura abad XX, berat 200 gram, panjang 33,7 cm, warangka Gayaman Yogya kayu Timoho, pendok Bunton baru warna emas, mendak dan deder lawasan. Sertifikasi Museum Pusaka TMII.

Dhapur Pasopati adalah salah satu bentuk dhapur keris lurus yang cukup populer. Ukuran Bilahnya sedang, agak tebal karena keris ini memakai ada-ada; permukaan bilahnya nggigir sapi. Kontur bilahnya biasanya menampilkan kesan ramping. Ricikan yang terdapat pada dhapur Pasopati adalah memakai kembang kacang pogok, lambe gajah satu, sogokannya dua berukuran normal serta ri pandan. Kadang-kadang ada juga Pasopati yang memakai gusen dan lis-lisan.

Dalam dunia pewayangan diceritakan salah satu senjata Arjuna adalah Pasopati, sehingga dhapur keris ini menjadi terkenal. Sebenarnya di dalam pewayangan Pasopati bukanlah keris, melainkan panah dhapur Wulan Tumanggal. Kaitan antara nama panah Pasopati dan keris Pasopati adalah persamaan nama belaka yang artinya Penunjuk Kematian.

Itulah sebabnya kepemilikan keris dhapur Pasopati pada jaman dahulu identik dengan senopati atau panglima perang. Tidak sembarang orang dapat memiliki keris dhapur tersebut. Keris koleksi saya di atas adalah contoh tangguh baru yang usianya belum 100 tahun. Ada yang mengatakan bahwa keris tersebut masuk ke era Kamardikan tetapi ada juga yang berpendapat bahwa masuk pada era Nom-Noman (Kraton Yogyakarta/Surakarta) karena grenengnya memiliki gunung sebagai ciri khas tangguh pada era tersebut. Meski demikian keris koleksi saya di atas merupakan keris dengan garapan yang cukup bagus; besinya kebiruan dan kokoh serta cukup nyaring jika dijentik.

Tombak Dhapur Biring Lanang






[FRS 15] Tombak Lurus dhapur Biring Lanang, pamor Tirto Tumetes, estimasi tangguh Mataram abad XVII, berat 450gram, panjang 28,5cm,  methuk Iras, warangka kayu Awar-awar, Landeyan 1 hasta. Sertifikasi Museum Pusaka TMII.


Tombak dhapur Biring Lanang adalah salah satu dhapur tombak lurus dengan bentuk bilah yang agak pipih dan simetris, Bentuk tombak ini hampir serupa dengan tombal dhapur Biring Drajit. Bangkekan atau pinggangnya ramping dan merupakan lekukan dalam. Bagian bilah yang yang terletak di bawah bangkekan lebih lebar dibandingkan dengan lebar bilah yang di atas pinggang. Di tepi bilah bagian pangkal ada bagian yang menyudut.

Tombak dhapur Biring Lanang memakai ada-ada tipis di tengah bilahnya. Permukaan bilah yang terletak di bawah pinggang bentuknya ngadal meteng. Koleksi saya di atas merupakan memiliki estimasi tangguh Mataram abad XVII dengan methuk Iras atau bagian cincin di pangkal tombak menyatu dengan bilahnya. Hanya saja sepertinya kinatah di bagian methuk merupakan susulan pada masa berikutnya, dengan estimasi Nom-Noman atau semasa Hamengkubuwono V.

Keris Dhapur Jaran Guyang







[FRS 14] Keris Luk 7 dhapur Jaran Guyang pamor Tirto Tumetes, estimasi tangguh Mataram Senopaten abad XV, berat 150 gram panjang 31,7cm, warangka model Gayaman Surakarta kayu Kemuning, pendok Bunton perak, Mendak perak dan deder kayu Kemuning. Sertifikasi Museum Pusaka TMII

Dhapur Jaran Guyang merupakan salah satu bentuk dhapur keris luk tujuh. Ada juga yang menyebutnya dhapur Kapal Guyang. Ukuran pandang dan lebar keris ini normal. Bilahnya nglimpa, gandiknya polos dan tipis, menggunakan blumbangan dan tingil, meski terkadang tidak menggunakan tingil melainkan greneng wurung. Ciri yang menonjol dari dhapur ini adalah pejetan-nya yang memanjang ke atas sampai pertengahan bilah. walaupun pada umumnya pejetan bersifat dangkal tak begitu kentara.

Definisi Jaran Guyang sendiri berarti kuda (jaran) yang dimandikan (guyang). Filosofinya adalah kuda merupakan binatang yang senang dimandikan. Jika pemilik atau manusianya dengan senang hati dan sukarela memandikan kuda maka binatang tersebut akan menurut dan patuh. Hal tersebut merupakan simbolisasi terhadap hubungan antar manusia yang berlandaskan kasih sayang. Akan tetapi banyak penggemar keris yang tidak membedakan definisi Jaran Guyang dengan Jaran Goyang (dalam bahasa Indonesia berarti Kuda Goyang yang merupakan ajian pelet atau asihan). Itulah sebabnya timbul persepsi bahwa keris Jaran Guyang adalah cocok bagi mereka yang suka memburu wanita.

Keris dhapur Jaran Guyang koleksi saya di atas adalah tangguh Mataram Senopaten meski ricikannya mengambil gaya Majapahit yakni besi yang kebiruan, pamor yang ala kadarnya. Satu-satunya hal yang membedakan adalah gandiknya yang tinggi sebagai ciri Mataraman. Jika gandiknya rendah maka keris di atas akan digolongkan pada tangguh Majapahit.