Minggu, 21 Agustus 2011

Keris Dhapur Tilam Upih (2)








[FRS 26] Keris lurus dhapur Tilam Upih pamor Triwarno (Junjung Drajad, Untuwalang, Pulo Tirto) estimasi tangguh Tuban Mataram abad XVI, panjang 37,8cm berat 240gram, warangka Ladrang gaya Surakarta kayu Trembalo Aceh Nginden, deder kayu Tayuman Nginden, pendhok Slorok Krawangan Kemalon Abang Surakarta. Sertifikasi Museum Pusaka TMII. 

Keris berdhapur Tilam Upih ini adalah keris kedua dari dhapur yang sama dalam koleksi saya dan keris pertama dengan bilah panjang yang cukup maksimal untuk ukuran keris Jawa. Hal yang menarik adalah jumlah pamornya yang mencapai tiga buah dalam bilahnya. Pamor Junjung Drajat adalah pamor yang cukup favorit di Jawa Timur dan Madura yang dianggap memiliki tuah yang baik untuk naik pangkat sehingga banyak dicari oleh mereka yang bekerja sebagai pegawai. Pamor ini terdapat di bagian sor-soran atau pangkal keris yang menyerupai pamor Ujung Gunung tetapi hanya satu puncak saja. Biasanya di puncak pamor tersebut terdapat pamor lain yang kebetulan dalam keris koleksi saya adalah pamor Pulo Tirto.  

Pamor Pulo Tirto sendiri mirip dengan pulau-pulau di tengah air yang menyebar tidak merata di bilah keris dan tergolong pamor tibanSeperti pamor lain yang memiliki simbolisme air dan identik dengan rejeki, pamor ini juga dianggap memiliki tuah yang dapat menambah ketentraman keluarga, rejeki dan luwes dalam pergaulan. Sementara pada bagian bilahnya terdapat pamor Untuwalang yang merupakan pamor rekan. Pamor ini berbentuk gerigi seperti gigi belalang dengan simbolisme pemiliknya akan menjadi pemimpin dan dipercaya banyak orang. Kata-katanya akan ditaati. Oleh karena itu pamor Untuwalang dianggap cocok bagi guru, pendidik atau pemimpin masyarakat. Saya membayangkan pemilik awal keris ini adalah orang yang tinggi besar dan sesuai dengan panjang dan bilahnya yang cukup lumayan panjang dan berat. Selain itu simbolisme dari ketiga pamor adalah mencerminkan orang yang memiliki pengharapan tinggi dalam pekerjaan, pergaulan dan rejeki sekaligus. Memiliki jabatan tinggi, bergaul luas dan didengar orang, mungkin di jaman sekarang adalah simbolisme seorang menteri atau rektor.

Keris koleksi saya diatas selain unik karena memiliki tiga pamor, juga memiliki gandar dan deder dengan kayu yang berkualitas. Kayu Trembalo dan Tayuman yang digunakan sebagai gandar dan deder mengkilap sehingga disebut Nginden (membiaskan cahaya). Sebutan Nginden ini berlaku tidak saja buat sandangan tetapi juga bilah keris yang mengkilap karena kesempurnaan pamornya. Hanya saja pendok model Slorok Krawangannya sudah cukup tua sehingga warna aslinya sudah meluntur. Itulah sebabnya saya berinisiatif menyepuhnya kembali dengan warna merah dan tidak menggantinya dengan pendok baru karena masih utuh.

Keris Dhapur Singo Barong








[FRS 24] Keris luk 9 dhapur Singo Barong pamor Ilining Warih, estimasi tangguh Madura Sepuh abad XV, panjang 35,6cm berat 140 gram, warangka branggah Yogya kayu Jati Gembol, deder kayu Jati Gembol, pendok Bunton sepuh Perak. Sertifikasi Museum Pusaka TMII. 

Dhapur Singo Barong adalah keris yang bagian gandiknya diukir dengan bentuk kepala singa mirip kilin, yakni arca binatang mitologi penunggu gerbang dari Cina. Arca semacam ini banyak terdapat di kelenteng dan menunjukkan pengaruh budaya Cina di Nusantara. Ricikan keris dhapur Singo Barong biasanya menggunakan sraweyan, ri pandan dan greneng. Dhapur ini juga bisa disebut dhapur Naga Singa. Selain gandik yang diukir berbentuk singa, dhapur ini juga biasanya menampilkan kelamin yang tegang sebagai simbol kejantanan. Mulut singa juga biasanya disumpal emas atau batu permata yang konon tujuannya adalah untuk meredam aura panas atau penampilan sifat galak dari keris dhapur SIngo Barong ini. Berbeda dengan keris dhapur Nagasasra yang melambangkan kebijaksanaan dan kekuasaan seorang raja, dhapur Singo Barong merupakan simbolisme kekuasaan dan ketegasan yang dimiliki tidak saja seorang raja tetapi juga patih dan senopati perang.

Pamor Ilining Warih atau disebut juga pamor Banyu Mili adalah pamor yang menyerupai garis-garis  yang membujur dari pangkal ke ujung bilah. Pamor ini tergolong pamor rekan yang bentuk gambarnya dirancang oleh empu. Banyak orang menganggap pamor ini tidak pemilih memiliki tuah untuk melancarkan rejeki dan memperluas pergaulan. Pemiliknya akan mudah bergaul dengan berbagai lapisan masyarakat. Sepintas pamor Ilining Warih mirip degan pamor Adeg, hanya bedanya pamor Ilining warih tidak sehalus pamor Adeg. Garis-garis pamor Ilining Warih juga berkelok-kelok menampilkan kesan seperti air yang mengalir.

Keris koleksi saya diatas memiliki estimasi Madura Sepuh sejaman dengan Mataram Senopaten. Hal yang menarik adalah selain kayu Jati Gembolnya yang mengkilap, bagian belakang pendok terdapat huruf Honocoroko dengan tulisan 'Pendhok Agpus' yang merupakan singkatan dari  pendok ageman pusaka. Bisa jadi keris tersebut dahulu merupakan keris ageman seseorang dalam pengertian sebagai perangkat simbolis jabatan tertentu. Pendoknya sendiri saya sempat kirim ke Solo untuk dilapis perak ulang mengingat lapisan perak yang lama telah luntur dan membuat bahan dasar kuningannya menjadi terlihat. 


Kamis, 18 Agustus 2011

Keris Dhapur Parungsari









[FRS 28] Keris luk 13 dhapur Parungsari pamor Ngulit Semangka, estimasi tangguh Bali abad XX, panjang bilah 42,5cm, panjang keseluruhan 62cm, warangka model Batun Poh Bali kayu Sonokeling, danganan Batara Siwa Tangan Empat kayu Areng.

Keris dhapur Parungsari (bahasa Indonesia: Lembah Bunga) adalah salah satu keris dengan luk 13 dengan ciri menggunakan kembang kacang (keris dhapur Parungsari gaya Bali yang biasa saya temui menggunakan kembang kacang bungkem), jenggot, dua lambe gajah, sraweyan, pejetan dan greneng. Dhapur Parungsari mirip dengan Dhapur Sengkelat hanya bedanya dhapur Parungsari menggunakan dua lambe gajah sementara dhapur Sengkelat hanya satu lambe gajah. Itulah sebabnya agak sulit untuk membedakan kedua dhapur tersebut.

Keris koleksi saya diatas memiliki panjang yang standar untuk ukuran keris Bali yakni antara 41-45cm. Bilah dan warangkanya cukup berat dan panjang. Awalnya danganan masih bergaya Podolan, kemudian saya ganti dengan ukiran Batara Siwa Tangan Empat yang dipesan khusus dari Tampak Siring, Bali. Warna danganan yang hitam dari kayu areng sesuai dengan warna bilahnya yang juga menghitam. Ditambah pula dengan mendak khusus keris Bali yang umumnya sulit ditemui dan dijual di pulau Jawa. Selain itu pamor keris koleksi saya tersebut memiliki garapan yang halus sehingga mempercantik bilah yang nyaring bunyinya jika dijentik. 






Senin, 15 Agustus 2011

Keris Dhapur Karna Tinanding Pudhak Setegal








[FRS 27] Keris lurus dhapur Karna Tinanding Pudhak Setegal pamor Kelengan, estimasi tangguh Sumenep Madura abad XX, panjang 35cm, berat 200 gram, warangka Kapakan Bali kayu Areng Pelet, danganan Ganesha kayu Areng.

Dhapur Karna Tinanding (bahasa Indonesia: Karna yang sedang berperang tanding dengan Arjuna, saudaranya sendiri seperti yang dikisahkan dalam Mahabharata) adalah dhapur ekris yang cukup populer dengan tiga versi. Koleksi saya di atas adalah versi yang menggunakan sogokan rangkap, sraweyan, wadidang, lambe gajah, serta kembang kacang di depan dan di belakang. Pudhak Sategal adalah bagian keris di atas sor-soran dengan bentuk kelopak bunga dan ujungnya runcing. Posisinya tergantung kreativitas sang empu; ada yang sejajar dan ada pula yang lebih tinggi satu sama lainnya. Pudhak Sategal dala bilah koleksi saya diatas memiliki bentuk sejajar di kanan kiri serta berada beberapa centimeter di atas sor-soran.

Bilahnya sendiri merupakan buatan baru dengan bahan pusaka lama yang didaur ulang oleh seorang empu di Sumenep, Madura. Untuk warangka dan danganan, saya memesannya kepada seorang pengrajin di Tampak Siring, Bali. Bilah buatan Bali sendiri sulit untuk bisa ditemukan dan rata-rata memang buatan Madura. Meski panjang bilah koleksi saya relatif lebih pendek dari bilah keris Bali yang rata-rata 42-45cm, namun dengan pembuatan warangka dan pemilihan danganan yang cermat maka jadilah sebuah koleksi yang kreatif dan proporsional.
 

Kujang Ciung Mata Tujuh






[FRS 25] Kujang dhapur Ciung Mata Tujuh Prabu Anom pamor Sekar Kadaton, tangguh Bogor abad XXI, landeyan motif Ceker Kidang kayu Sonokeling, Sarangka kayu Sonokeling. Panjang 19,1cm/berat 170 gram. Sertifikasi Museum Pusaka TMII.

Kujang dhapur Ciung Mata Tujuh adalah kujang setingkat dibawah dhapur Ciung Mata Sembilan yang diperuntukkan untuk raja. Mata Tujuh sendiri terbagi tiga yakni peruntukan untuk Mantri Dangka, Prabu Anom dan Pandita. Koleksi saya diatas adalah untuk Prabu Anom dengan pamor Sekar Kadaton yang merupakan simbolisme Agung (nama besar), Wicaksana (bijaksana), Wibawa, Pangadeg (pemimpin), Gede Wawanen (keberanian yang besar). Untuk selengkapnya dapat dilihat di artikel mengenai kujang di blog ini.

Kujang koleksi saya diatas juga memiliki mata dari kuningan dan merupakan karya Guru Teupa Wahyu Affandi Suradinata, dari Paneupaan Kujang Pajajaran, Katulampa Bogor. Hal yang menarik dari koleksi saya di atas selain sebagai pusaka yang langka, kujang buatan pak Wahyu juga mengeluarkan baru harum gaharu. Hal itu disebabkan selama proses pembuatan juga menggunakan bahan dari kayu gaharu tersebut. Itulah sebabnya jika diolesi minyak gaharu, maka bau harum tersebut akan tercium dengan kerasnya.

Keris Dhapur Sembada






[FRS 23] Keris luk 3 dhapur Sembada pamor Wos Wutah, estimasi tangguh Madura Baru abad XX, hulu model Yogya, warngka Gambilan yogya kayu Cendana, panjang 15,7cm/berat 140gram, gandar terbuat dari kayu Cendana. Sertifikasi Museum Pusaka TMII.

Keris dhapur Sembada (bahasa Indonesia: sanggup membuktikan kemauan) termasuk keris yang langka untuk buatan lama maupun baru. Keris luk tiga ini  memiliki ricikan berupa kembang kacang pogog, satu lambe gajah, satu jalen, pejetan, tikel alis, sraweyan, greneng, dan terkadang ada pudhak setegal jika terdapat pada keris dhapur Sembada versi besar.
Keris koleksi saya ini didapat sebagai hadiah dari seorang sahabat di Surabaya. Meski bentuknya kecil, tetapi cukup berat juga mengingat keris ini adalah bukan buatan lama. Pamor Wos Wutah awalnya belum tampak terlalu jelas sebelum dicuci dan diwarangi ulang. Pamor tersebut terkesan menempel pada besi dengan berlapis-lapis, yang merupakan ciri khas buatan baru tangguh Madura.

Sabtu, 06 Agustus 2011

Keris Yang Harus Dihindari

Pengertian keris yang harus dihindari disini bukanlah keris dengan jin gundul berwajah buruk pembawa sial seperti keyakinan banyak orang, melainkan keris yang diragukan syarat materialnya (wutuh, tangguh, sepuh) untuk dibeli, dibayar atau dimaharkan.

Jika anda pencinta keris sepuh/tua/kuno, berhati-hatilah sebab segmen pasar keris jenis ini rawan penipuan. Ketahuilah keris dapur mana saja yang popularitasnya tinggi dan ketersediaanya cukup banyak (sengkelat, parungsari, jalak) dan keris dapur mana saja yang popularitasnya tinggi tapi ketersediaan pasar sedikit (jaran guyang, sempana bungkem, pasopati). Semakin jarang dapur keris tersebut maka terjadi upaya untuk membesut/mengolah keris dapur lain yang mirip untuk dijadikan dapur yang jarang sekaligus bernilai jual tinggi. Misalnya Kalamisani diolah menjadi Pasopati, keris lurus dijadikan luk kemba/hemet dan seterusnya.

Pemalsuan juga bukan saja soal mengubah dapur keris tetapi juga membuat bilah keris menjadi sepuh/tua/kuno, baik dengan proses kimiawi (menggunakan asam) atau proses alamiah (menguburnya di tanah atau membiarkannya di tempat terbuka dalam jangka waktu tertentu. Oleh karena permintaan keris sepuh/tua/kuno cukup tinggi, maka cara lain adalah membuat keris jenis itu dengan bahan-bahan material yang mirip seperti pipa ledeng bahkan velg motor untuk bilah dan pamor. Mereka yang tidak mampu memilah atau terlalu bernapsu dengan keris sepuh membuat permintaan tinggi dimana pasar bereaksi memenuhi kebutuhan itu dengan berbagai cara. Seorang seller keris pernah mengatakan pada saya bahwa makin hari ketersediaan keris sepuh/tua/kuno yang asli semakin sedikit. Keris yang bagus-bagus sudah jatuh ke tangan kolektor kelas kakap. Mereka membeli keris dengan harga murah kepada pedagang yang lebih kecil serta berani menjualnya kembali dengan harga tinggi karena sudah punya nama besar. Sementara keris yang tersisa hanya berputar di dalam pasar level bawah dengan harga yang terus naik karena sudah berkali-kali berpindah tangan. Ketersediaan yang semakin sedikit itulah yang kemudian dipenuhi oleh keris besutan/owah-owahan yangdibuat semirip mungkin dengan aslinya, selagi permintaan pasar lebih cenderung kepada keris sepuh dibandingkan keris baru.

Dengan demikian keris besutan/owah-owahan bukan lagi mengambil bentuk 'asal jadi' dan 'asal aneh' seperti fenomena tahun 1980an, melainkan mengikuti keinginan pasar dimana para peminat keris sepuh sudah semakin pintar untuk mencari pusaka sesuai pakem. Benarkah sesuai pakem? Jika pakem mengatakan bahwa keris harus memenuhi kriteria utuh (dicari yang tidak cacat seperti combong atau nama kerennya pamengkang jagad, nyangkem kodok, randa beser, pamor minum darah dan sebagainya), maka harus memenuhi kriteria sepuh dan tangguh itulah yang masih jadi pertanyaan besar. Butuh pengalaman memegang keris dan jam terbang tinggi untuk bisa mengetahui seberapa tua dan jaman pembuatan sebuah pusaka.

Oleh karena itu, membeli/memahari sebilah pusaka sepuh/kuno/tua terutama online harus memperhatikan aspek sebagai berikut: Pertama, harga yang realistis; jika harga terlalu murah atau terlalu mahal, anda boleh curiga. Terlalu murah bisa jadi kualitasnya memang rendah atau penjualnya tidak tahu menilai kualitas barang (meski faktor ini jarang terjadi), atau terlalu mahal karena banyak cerita bumbu yang dijual (pegangan raja majapahit, milik empu gandring dan sejenis). Pada saat ini, sebilah keris sepuh dengan dapur yang mudah diperoleh (brojol, jalak) dan pamor mlumah atau tiban (ngulit semangka, wos wutah) berkualitas tangguh, utuh sepuhnya baik biasanya berkisar 800ribu-1,5juta rupiah. Jika melalui proses lelang bisa lebih murah, entah karena sudah bosan, stok banyak atau ada cacat kecil yang tidak berarti. Keris dengan dapur yang lebih jarang (pasopati) dengan usia yang lebih tua, pamor miring atau rekan (lar gangsir, ron genduru) bisa berkisar 2,5 hingga 3 juta rupiah. keris tua tangguh bali yang jarang di pasaran bisa mencapai 4 juta rupiah sementara keris dengan dapur seperti singo barong atau nogososro tanpa kinatah bisa mencapai 5 juta rupiah. Itu semua masih harga bilah dengan sandangan standar. Semakin mahal sandangan seperti warangka dengan perak murni, emas bahkan permata tentu saja akan membuat keris semakin mahal. disini bukan lagi faktor obyektif mengenai material tetapi sudah soal investasi bahkan juga faktor subyektif seperti keindahan dan seni. Belum lama ini saya melihat langsung sebilah keris dengan sandangan berupa warangka emas campur perak dengan hiasan batu mirah serta berlian. Penjualnya menyebutkan angka 450 juta rupiah untuk keris dengan dapur Sempana luk 7 yang menurut saya bilahnya biasa-biasa saja. Itu masih lebih fair dibandingkan orang yang menipu dengan mengatakan menjual keris Pasopati seharga milyaran rupiah, padahal gambar yang dipasang adalah Tilam Upih biasa.

Kedua, seller yang terpercaya. Banyak penjual yang kini sudah memiliki blog atau facebook untuk menawarkan dagangannya. Pilihlah mereka yang dapat dipercaya baik kualitas barang dagangan, service exellence, serta respons yang bersahabat. Saya cenderung memilih penjual yang kredibilitasnya bukan saja didapat secara online, tetapi juga mereka yang memiliki penjualan offline, serta mudah dihubungi baik lewat email atau telpon. Dengan demikian kepercayaan bisa dibangun dengan baik untuk proses bisnis selanjutnya. Pengalaman saya, pada akhirnya harga nomor dua karena nomor satu adalah kepercayaan yang tidak mudah untuk didapat dan dipelihara. Pertimbangkan pula faktor budaya dan daerah untuk menggambarkan secara garis besar karakter penjual dan barang dagangannya, sehingga anda dapat lebih mudah memilih pusaka berdasarkan gatra (Yogya, Solo, Madura) bahkan juga membaca kesukaan seller terhadap jenis pusaka tertentu. Seorang seller langganan saya menyukai pamor wengkon sehingga informasi terhadap pamor jenis itu dan ketersediaan yang dimilikinya, memudahkan saya jika kelak menginginkan pamor demikian.

Ketiga, pertimbangkan suara hati dan perbanyak pengetahuan tentang aspek fisik/material keris. Seringkali faktor "keblondrok" (tertipu mendapat keris besutan/muda padahal menginginkan yang tua) bukan saja karena tidak memahami harga pasar, seller yang curang tetapi juga lebih banyak karena ketidaktahuan dan rasa abai terhadap hati sendiri. Jika sudah bernapsu menginginkan suatu, maka peluang untuk jatuh karena terlalu mahal dan tertipu juga semakin besar. Favoritisme terhadap dapur atau pamor tertentu membuat orang kalap untuk mengejar apalagi harus berlomba dengan orang lain di pelelangan. Selain menguras dompet, tentunya akan malu jika mendapat barang yang ternyata bertolakbelakang dengan harapannya. saya pribadi menganggap proses "keblondrok" untuk satu kali adalah wajar demi pembelajaran. Setidaknya anda memegang sebilah keris yang akan jadi referensi agar tidak mendapatkan yang serupa. Siapapun bahkan yang katanya pakar perkerisan pernah mengalami hal ini. Jika anda berkali-kali "keblondrok" tanpa pernah mau belajar, itu bebal namanya. Itulah sebabnya suara hati penting dan diimbangi dengan proses pengetahuan yang mumpuni. Ada banyak tempat untuk bertanya dan didatangi, ada banyak buku dan referensi untuk dibaca. Tidak ada salahnya mendatangi dan memiliki kan?

Lantas bagaimana dengan penggemar pusaka baru/tangguh Kamardikan abad XX dan XXI? Sejalan dengan perkembangan pasar, keris atau pusaka baru juga sudah bermunculan dan memiliki kualitas yang semakin lama semakin baik. Meski masih disambut dingin oleh para kolektor pemula yang tergila-gila dengan keris sepuh, keris Kamardikan (pembuatan setelah tahun 1945) masa sekarang sudah mengikuti pakem bahkan mutrani (duplikat) terhadap keris-keris sepuh yang dapur dan pamornya langka. Seorang seller pernah mengatakan kepada saya bahwa Keris Kamardikan yang dibelinya sebagai modal untuk lelang, memiliki harga rata-rata 300 ribu rupiah sementara yang berkualitas sangat bagus baik dapur yang jarang maupun pamor miring/rekan bisa mencapai 2,5 juta rupiah. Penjual yang jujur akan mengatakan bahwa barangnya adalah Kamardikan baik garap biasa maupun garap alus. Sementara yang tidak jujur atau tidak mau tahu akan mengatakan itu keris sepuh dan membodohi pembeli yang tidak mau belajar.

Untuk itulah sangat penting untuk menghindari keris-keris yang tidak sesuai dengan harapan, isi kantong dan pengetahuan anda. Tidak ada salahnya memiliki keris baru yang bagus garapannya dibandingkan memburu keris tua yang tidak jelas asal-usulnya.   

Keris Dhapur Sinom









[FRS 22] Keris lurus dhapur Sinom Pamor Tirto Tumetes estimasi tangguh Majapahit Awal abad XIII, hulu Surakarta, warangka Ladrang Surakarta kayu Asem Pelet Kendit, berat 145 gram/panjang 33,5cm, Pendok Bunton lapis emas model Surakarta, Mendak baru lapis emas. Sertifikasi Museum Pusaka Taman Mini Indonesia Indah.

Dhapur Sinom adalah salah satu dhapur keris lurus dengan ukuran panjang bilah sedang. Di tengah bilah terdapat ada-ada dan permukaan bilah biasanya nggigir sapi. Keris ini tergolong populer dengan ricikan memakai kembang kacang, sogokan rangkap, satu lambe gajah, pejetan, sraweyan dan ri pandan.  Bilah keris koleksi saya memiliki estimasi tangguh Majapahit awal, dilihat dari sogokan yang panjang, gandik yang rendah, serta kualitas besi yang merupakan ciri pembuatan pada jaman tersebut.

Pamor Tirto Tumetes (bahasa Indonesia: air yang menetes) merupakan simbolisme terhadap unsur rejeki, sebagaimana pamor-pamor lain yang dikatakan mengandung unsur air (tirta). Pamor ini tergolong pamor mlumah dan tiban, yang tidak direncanakan sebelumnya oleh sang empu.

Warangka keris koleksi saya diatas terbuat dari kayu Asem dengan motif Pelet Kendit. Meski kualitas dan popularitas kayu Asem masih dibawah kayu Timoho, namun motif Pelet Kendit berupa garis melintang secara sempurna di kedua sisi warangka termasuk sulit ditemukan. Motif tersebut bagi yang percaya aspek esoterinya adalah mampu 'mengikat' pelanggan sehingga banyak dicari oleh pedagang atau pengusaha.



Rabu, 03 Agustus 2011

Kujang, Pusaka Tatar Sunda

Dalam sebuah kesempatan yang tak terduga, saya berkenalan dengan pak Wahyu Affandi Suradinata, guru teupa atau empu dalam bahasa Sunda dari paneupaan Kujang Pajajaran di Bogor. Beliau juga guru bahasa Sunda dan guru Seni Rupa di sebuah SMK Swasta. Pak Wahyu menerangkan bahwa berbeda arti dengan istilah yang sama digunakan di daerah lain, guru teupa adalah sebutan untuk empu pembuat senjata di tatar Sunda, sementara pande adalah pembuat alat-alat pertanian. Sebagai guru teupa, pak Wahyu dapat dikatakan sebagai satu-satunya orang yang menguasai dan membuat kujang tidak saja sesuai dengan pakem yakni Pantun Bogor sebagai sumber sejarah Sunda Pajajaran, tetapi juga karena upaya beliau untuk menggali informasi lebih dalam mengenai Kujang yang masih dimiliki para sesepuh, museum, bahkan juga koleksi pribadi. pak Wahyu sendiri menyukai kujang sejak menemukannya tertancap di sebuah batu di pesisir sungai Sukawayana, Cisolok, Pelabuhan Ratu. Sejak itu ia bukan saja cuma mencoba mengoleksi tetapi juga membuatnya setelah mendatangi dan mengumpulkan informasi dari para sesepuh pemilik kujang yang masih ada, museum, dan juga acuan sumber sejarah lain mengenai pembuatan kujang.

Menurut pak Wahyu, Kujang sebagai senjata genggam khas Sunda dikenal dengan sebutan Kujang Pajajaran yakni kekuasaan Pakuan Pajajaran ketika diperintah oleh Prabu Sri Baduga Maharaja Siliwangi (1482-1521M). Senjata tersebut adalah penanda karakter etnis Sunda yang ”tabu pandai perang, tapi mesti pandai jika diperangi”. Penanda inilah yang melatari bentuk senjata Kujang yang berukuran kecil dan ramping. Dalam segi penggunaannya, Kujang tidak digunakan dengan cara menebas atau membacok, tapi hanya untuk membela diri dengan cara menangkis, menusuk atau menikam dari jarak dekat apabila mendapat serangan. Itulah sebabnya menurut beliau, senjata Kujang juga merupakan simbol pusaka yang mengandung makna filosofis ”kujang dua pangadekna” (kujang yang tajam di kedua sisinya). Artinya, setiap orang Sunda sebagaimana etnis lain di Indonesia juga harus benar-benar berguna tidak saja bagi jati diri budaya tetapi juga bagi bangsa dan negaranya.

Fungsi Kujang sendiri juga mengalami perubahan sesuai dengan jaman. Pada masa Pajajaran, menurut pak Wahyu, sekurangnya dikenal empat macam fungsi Kujang. Pertama, Kujang Pamangkas dengan ukuran bilah (waruga) satu setengah hingga dua jengkal (30-40cm). Bentuknya agak lebar bagian ujungnya melengkung ke dalam. Kujang Pamangkas digunakan untuk membabat (nyacar) semak belukar pada persiapan lahan ladang (huma). Kedua, Kujang Pangarak dengan ukuran bilah sekitar 20cm sementara panjang tangkainya sendiri antara 120-180cm. Kujang Pangarak digunakan untuk upacara kerajaan, keagamaan dan adat. Digunakan pula dalam keadaan darurat untuk menangkis serangan musuh. Ketiga, Kujang Pakarang yang merupakan semua jenis kujang kecuali Kujang Pamangkas. Ukuran bilahnya kira-kira 20-30cm dan dipersiapkan untuk menghadapi serangan musuh yang menyerang. Pamor Bilah dilumuri oleh bahan-bahan racun yang mematikan. Keempat, Kujang Pusaka yang berpamor dan matanya diberi logam dari emas atau batu permata. Kujang Pusaka juga diberi tuah dan kekuatan magis untuk menambah kewibawaan dan keagungan pemiliknya yakni raja dan para pejabat kerajaan. Kini fungsi kujang meski digunakan sebagai hiasan atau cenderamata juga masih tetap sebagai pusaka.

Saya sempat bertanya kepada pak Wahyu, mengapa ada lubang di bilah kujang dan apa makna dari lubang tersebut? Beliau menjawab bahwa itu sebenarnya adalah salah kaprah karena itu bukan lubang melainkan mata, yang pada bilah kujang asli memang dulunya diisi oleh logam atau permata. Pada masa kini orang mengenal kujang dengan lubang karena isinya sudah tidak ada. Kujang buatan pak Wahyu seperti sesuai pakem pembuatan juga diisi oleh logam meski terbuat dari kuningan. Bisa juga diisi emas atau permata sesuai dengan pesanan. Sementara jumlah mata menunjukkan status, hirarki, derajat dan fungsi sosial dari si pemilik sejak jaman Pajajaran dulu. Dari pakem Pantun Bogor yang memuat segala sesuatu tentang pembuatan Kujang tersebut, sekurangnya diketahui ada 11 macam Kujang, yakni Kujang Ciung Mata 9 dimiliki oleh Raja dan Brahmesta (Pandita Agung Negara). Kujang Ciung Mata 7 dimiliki oleh Prabu Anom, Mantri Dangka, Pandita. Kujang Ciung Mata 5 dimiliki oleh Geurang Seurat, Bupatim Geurang Puun. Kujang Ciung Mata 3 dimiliki oleh Puun, Kujang Ciung Mata 1 dimiliki oleh Guru Tantu Agama, Pangwereg Agama. Kujang Jago dimiliki oleh Balapati, Lulugu, Sambilan. Kujang Kuntul dimiliki oleh  Patih (Puri, Taman, Tangtu, Jaba, Palaju), Mantri (Majeuti, Pasebar, Layar, Karang, Jero). Kujang Bangkong dimiliki oleh Guru (Sekar, Tangtu, Alas, Cucuk). Kujang Naga dimiliki oleh Kanduru, Jaro. Kujang Badak dimiliki oleh Pangwereg, Pamatang, Palongok, Palayang, Pangwelah, Bareusan, Prajurit, Paratulup, Pangawin, Sarawarsa, Kokolot. Sementara Kujang Ciung Mata 5 Wesi Kuning hanya dimiliki oleh para putri Menak Pakuan. Hampir semua jenis kujang tersebut dapat dibuat di paneupaan pak Wahyu di Bogor. Lebih jauh saya bertanya, pernah adakah orang yang memesan Kujang dengan mata 9? Pak Wahyu mengatakan bahwa ada saja yang memesan jenis itu tapi terlebih dahulu jelas silsilahnya karena pembuatan Kujang dengan mata 9 adalah milik raja jadi tidak bisa sembarangan. Apalagi jika tujuan pembuatan Kujang adalah sebagai pusaka, maka laku dan ritual juga dijalankan untuk konsentrasi dan keselamatan ketika menempa leburan. Bilah kujang di paneupaan terdiri dari berbagai macam besi dan baja yang ditempa hingga suhu 1200 derajat Celcius, sedangkan pamor keluar berdasarkan perbedaan logam campuran setelah direndam asam. Bilah normal kujang kira-kira 20cm diluar peksi. Mata Kujang bisa dipesan kecuali yang 9 diatas sementara pamor disesuaikan dengan hari lahir si pemilik.

Pamor bilah kujang sendiri dibuat dengan memunculkan pamor melalui perbedaan besi leburan. Pamor ini cukup unik karena jika dari bentuknya ada dua macam yakni (1) Sulangkar, berupa garis-garis yang biasa disebut Rambut Sadana dan (2) Tutul berupa bintik atau bulatan yang bertebaran. Fungsi pamor bukan saja untuk memperindah bilah Kujang tetapi juga menampung racun dan secara simbolis melambangkan jiwa atau karakter pemegangnya. Ada delapan motif pamor Kujang yakni (a) Waringin Kurung yang merupakan simbol Kewibawaan, Logawa, Pangayoman, Pangadeg, (b) Waruga Sungsang yang merupakan simbol Mawas Diri, Handap Asor, Gede Wawanen, Pandita, Logawa, (c) Hanjungan Bodas yang merupakan simbol handap Asor, Kasakten, Wicaksana, Pandita, Logawa, (d) Naga Bandang yang merupakan simbol Gede Wawanen, Singer, Jugala, Jajaten, Binangkit, (e) Tirta Sadana yang merupakan simbol Pandita, Pangadeg, Gede Wawanen, Wicaksana, Logawa, (f) Tapak Nanggala yang merupakan simbol Kukuh, Sabar, Tekun, Perkasa, Wicaksana, (g) Mega Sirna yang merupakan simbol Gede Wawanen, Handap Asor, Wibawa, Logawa, Pangadeg, dan (h) Sekar Kadaton yang merupakan simbol Agung, Wicaksana, Wibawa, Pangadeg, Gede Wawanen.

Seperti halnya keris, kujang juga memiliki ’ricikan’ tersendiri. Misalnya ujung kujang disebut papatuk, antara mata kujang disebut eluk, bagian perut kujang disebut beuteung, bagian luar bilah kujang disebut siih, bagian yang mirip gandik disebut tadah. Bagian tengah kujang disebut tonggong. Jika keris menggunakan cincin yang disebut mendak, maka kujang juga menggunakannya dengan sebutan selut. Gagang pada kujang disebut ganja atau landean. Sementara warangka kujang disebut kowak, sarangka dan gandar disebut tari cangka. Cincin atau selut kujang dibuat dari bahan kuningan atau tembaga yang disepuh emas. Hal yang menarik adalah teknik pemasangan bilah dan selut ini masih menggunakan cara yang tradisional sekali, yakni dengan menggunakan sarang semut hitam. Untuk melepas bilah dari gagang, haruslah dipanaskan terlebih dahulu. Saya membayangkan hal serupa sebenarnya juga dilakukan pada keris-keris jaman dahulu yang masih menggunakan cara yang sama atau menggunakan rambut manusia. Untuk gagang kujang sendiri bisa terbuat dari kayu Sonokeling, akar kayu Kopi, Akar Garu atau tanduk dengan motif Ceker Kidang, sedangkan untuk kowak atau sarung kujang terbuat dari kayu Sonokeling, kayu Samida atau kayu Sempur.

Tertarik memiliki kujang sebagai pusaka? Silahkan menghubungi paneupaan Kujang Pajajaran a/n pak Wahyu Affandi Suradinata, Jalan Parung Banteng rt04/01 no.120 Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor. Telpon (0251) 2270228.