Minggu, 21 Agustus 2011

Keris Dhapur Tilam Upih (2)








[FRS 26] Keris lurus dhapur Tilam Upih pamor Triwarno (Junjung Drajad, Untuwalang, Pulo Tirto) estimasi tangguh Tuban Mataram abad XVI, panjang 37,8cm berat 240gram, warangka Ladrang gaya Surakarta kayu Trembalo Aceh Nginden, deder kayu Tayuman Nginden, pendhok Slorok Krawangan Kemalon Abang Surakarta. Sertifikasi Museum Pusaka TMII. 

Keris berdhapur Tilam Upih ini adalah keris kedua dari dhapur yang sama dalam koleksi saya dan keris pertama dengan bilah panjang yang cukup maksimal untuk ukuran keris Jawa. Hal yang menarik adalah jumlah pamornya yang mencapai tiga buah dalam bilahnya. Pamor Junjung Drajat adalah pamor yang cukup favorit di Jawa Timur dan Madura yang dianggap memiliki tuah yang baik untuk naik pangkat sehingga banyak dicari oleh mereka yang bekerja sebagai pegawai. Pamor ini terdapat di bagian sor-soran atau pangkal keris yang menyerupai pamor Ujung Gunung tetapi hanya satu puncak saja. Biasanya di puncak pamor tersebut terdapat pamor lain yang kebetulan dalam keris koleksi saya adalah pamor Pulo Tirto.  

Pamor Pulo Tirto sendiri mirip dengan pulau-pulau di tengah air yang menyebar tidak merata di bilah keris dan tergolong pamor tibanSeperti pamor lain yang memiliki simbolisme air dan identik dengan rejeki, pamor ini juga dianggap memiliki tuah yang dapat menambah ketentraman keluarga, rejeki dan luwes dalam pergaulan. Sementara pada bagian bilahnya terdapat pamor Untuwalang yang merupakan pamor rekan. Pamor ini berbentuk gerigi seperti gigi belalang dengan simbolisme pemiliknya akan menjadi pemimpin dan dipercaya banyak orang. Kata-katanya akan ditaati. Oleh karena itu pamor Untuwalang dianggap cocok bagi guru, pendidik atau pemimpin masyarakat. Saya membayangkan pemilik awal keris ini adalah orang yang tinggi besar dan sesuai dengan panjang dan bilahnya yang cukup lumayan panjang dan berat. Selain itu simbolisme dari ketiga pamor adalah mencerminkan orang yang memiliki pengharapan tinggi dalam pekerjaan, pergaulan dan rejeki sekaligus. Memiliki jabatan tinggi, bergaul luas dan didengar orang, mungkin di jaman sekarang adalah simbolisme seorang menteri atau rektor.

Keris koleksi saya diatas selain unik karena memiliki tiga pamor, juga memiliki gandar dan deder dengan kayu yang berkualitas. Kayu Trembalo dan Tayuman yang digunakan sebagai gandar dan deder mengkilap sehingga disebut Nginden (membiaskan cahaya). Sebutan Nginden ini berlaku tidak saja buat sandangan tetapi juga bilah keris yang mengkilap karena kesempurnaan pamornya. Hanya saja pendok model Slorok Krawangannya sudah cukup tua sehingga warna aslinya sudah meluntur. Itulah sebabnya saya berinisiatif menyepuhnya kembali dengan warna merah dan tidak menggantinya dengan pendok baru karena masih utuh.

Keris Dhapur Singo Barong








[FRS 24] Keris luk 9 dhapur Singo Barong pamor Ilining Warih, estimasi tangguh Madura Sepuh abad XV, panjang 35,6cm berat 140 gram, warangka branggah Yogya kayu Jati Gembol, deder kayu Jati Gembol, pendok Bunton sepuh Perak. Sertifikasi Museum Pusaka TMII. 

Dhapur Singo Barong adalah keris yang bagian gandiknya diukir dengan bentuk kepala singa mirip kilin, yakni arca binatang mitologi penunggu gerbang dari Cina. Arca semacam ini banyak terdapat di kelenteng dan menunjukkan pengaruh budaya Cina di Nusantara. Ricikan keris dhapur Singo Barong biasanya menggunakan sraweyan, ri pandan dan greneng. Dhapur ini juga bisa disebut dhapur Naga Singa. Selain gandik yang diukir berbentuk singa, dhapur ini juga biasanya menampilkan kelamin yang tegang sebagai simbol kejantanan. Mulut singa juga biasanya disumpal emas atau batu permata yang konon tujuannya adalah untuk meredam aura panas atau penampilan sifat galak dari keris dhapur SIngo Barong ini. Berbeda dengan keris dhapur Nagasasra yang melambangkan kebijaksanaan dan kekuasaan seorang raja, dhapur Singo Barong merupakan simbolisme kekuasaan dan ketegasan yang dimiliki tidak saja seorang raja tetapi juga patih dan senopati perang.

Pamor Ilining Warih atau disebut juga pamor Banyu Mili adalah pamor yang menyerupai garis-garis  yang membujur dari pangkal ke ujung bilah. Pamor ini tergolong pamor rekan yang bentuk gambarnya dirancang oleh empu. Banyak orang menganggap pamor ini tidak pemilih memiliki tuah untuk melancarkan rejeki dan memperluas pergaulan. Pemiliknya akan mudah bergaul dengan berbagai lapisan masyarakat. Sepintas pamor Ilining Warih mirip degan pamor Adeg, hanya bedanya pamor Ilining warih tidak sehalus pamor Adeg. Garis-garis pamor Ilining Warih juga berkelok-kelok menampilkan kesan seperti air yang mengalir.

Keris koleksi saya diatas memiliki estimasi Madura Sepuh sejaman dengan Mataram Senopaten. Hal yang menarik adalah selain kayu Jati Gembolnya yang mengkilap, bagian belakang pendok terdapat huruf Honocoroko dengan tulisan 'Pendhok Agpus' yang merupakan singkatan dari  pendok ageman pusaka. Bisa jadi keris tersebut dahulu merupakan keris ageman seseorang dalam pengertian sebagai perangkat simbolis jabatan tertentu. Pendoknya sendiri saya sempat kirim ke Solo untuk dilapis perak ulang mengingat lapisan perak yang lama telah luntur dan membuat bahan dasar kuningannya menjadi terlihat. 


Kamis, 18 Agustus 2011

Keris Dhapur Parungsari









[FRS 28] Keris luk 13 dhapur Parungsari pamor Ngulit Semangka, estimasi tangguh Bali abad XX, panjang bilah 42,5cm, panjang keseluruhan 62cm, warangka model Batun Poh Bali kayu Sonokeling, danganan Batara Siwa Tangan Empat kayu Areng.

Keris dhapur Parungsari (bahasa Indonesia: Lembah Bunga) adalah salah satu keris dengan luk 13 dengan ciri menggunakan kembang kacang (keris dhapur Parungsari gaya Bali yang biasa saya temui menggunakan kembang kacang bungkem), jenggot, dua lambe gajah, sraweyan, pejetan dan greneng. Dhapur Parungsari mirip dengan Dhapur Sengkelat hanya bedanya dhapur Parungsari menggunakan dua lambe gajah sementara dhapur Sengkelat hanya satu lambe gajah. Itulah sebabnya agak sulit untuk membedakan kedua dhapur tersebut.

Keris koleksi saya diatas memiliki panjang yang standar untuk ukuran keris Bali yakni antara 41-45cm. Bilah dan warangkanya cukup berat dan panjang. Awalnya danganan masih bergaya Podolan, kemudian saya ganti dengan ukiran Batara Siwa Tangan Empat yang dipesan khusus dari Tampak Siring, Bali. Warna danganan yang hitam dari kayu areng sesuai dengan warna bilahnya yang juga menghitam. Ditambah pula dengan mendak khusus keris Bali yang umumnya sulit ditemui dan dijual di pulau Jawa. Selain itu pamor keris koleksi saya tersebut memiliki garapan yang halus sehingga mempercantik bilah yang nyaring bunyinya jika dijentik. 






Senin, 15 Agustus 2011

Keris Dhapur Karna Tinanding Pudhak Setegal








[FRS 27] Keris lurus dhapur Karna Tinanding Pudhak Setegal pamor Kelengan, estimasi tangguh Sumenep Madura abad XX, panjang 35cm, berat 200 gram, warangka Kapakan Bali kayu Areng Pelet, danganan Ganesha kayu Areng.

Dhapur Karna Tinanding (bahasa Indonesia: Karna yang sedang berperang tanding dengan Arjuna, saudaranya sendiri seperti yang dikisahkan dalam Mahabharata) adalah dhapur ekris yang cukup populer dengan tiga versi. Koleksi saya di atas adalah versi yang menggunakan sogokan rangkap, sraweyan, wadidang, lambe gajah, serta kembang kacang di depan dan di belakang. Pudhak Sategal adalah bagian keris di atas sor-soran dengan bentuk kelopak bunga dan ujungnya runcing. Posisinya tergantung kreativitas sang empu; ada yang sejajar dan ada pula yang lebih tinggi satu sama lainnya. Pudhak Sategal dala bilah koleksi saya diatas memiliki bentuk sejajar di kanan kiri serta berada beberapa centimeter di atas sor-soran.

Bilahnya sendiri merupakan buatan baru dengan bahan pusaka lama yang didaur ulang oleh seorang empu di Sumenep, Madura. Untuk warangka dan danganan, saya memesannya kepada seorang pengrajin di Tampak Siring, Bali. Bilah buatan Bali sendiri sulit untuk bisa ditemukan dan rata-rata memang buatan Madura. Meski panjang bilah koleksi saya relatif lebih pendek dari bilah keris Bali yang rata-rata 42-45cm, namun dengan pembuatan warangka dan pemilihan danganan yang cermat maka jadilah sebuah koleksi yang kreatif dan proporsional.
 

Kujang Ciung Mata Tujuh






[FRS 25] Kujang dhapur Ciung Mata Tujuh Prabu Anom pamor Sekar Kadaton, tangguh Bogor abad XXI, landeyan motif Ceker Kidang kayu Sonokeling, Sarangka kayu Sonokeling. Panjang 19,1cm/berat 170 gram. Sertifikasi Museum Pusaka TMII.

Kujang dhapur Ciung Mata Tujuh adalah kujang setingkat dibawah dhapur Ciung Mata Sembilan yang diperuntukkan untuk raja. Mata Tujuh sendiri terbagi tiga yakni peruntukan untuk Mantri Dangka, Prabu Anom dan Pandita. Koleksi saya diatas adalah untuk Prabu Anom dengan pamor Sekar Kadaton yang merupakan simbolisme Agung (nama besar), Wicaksana (bijaksana), Wibawa, Pangadeg (pemimpin), Gede Wawanen (keberanian yang besar). Untuk selengkapnya dapat dilihat di artikel mengenai kujang di blog ini.

Kujang koleksi saya diatas juga memiliki mata dari kuningan dan merupakan karya Guru Teupa Wahyu Affandi Suradinata, dari Paneupaan Kujang Pajajaran, Katulampa Bogor. Hal yang menarik dari koleksi saya di atas selain sebagai pusaka yang langka, kujang buatan pak Wahyu juga mengeluarkan baru harum gaharu. Hal itu disebabkan selama proses pembuatan juga menggunakan bahan dari kayu gaharu tersebut. Itulah sebabnya jika diolesi minyak gaharu, maka bau harum tersebut akan tercium dengan kerasnya.

Keris Dhapur Sembada






[FRS 23] Keris luk 3 dhapur Sembada pamor Wos Wutah, estimasi tangguh Madura Baru abad XX, hulu model Yogya, warngka Gambilan yogya kayu Cendana, panjang 15,7cm/berat 140gram, gandar terbuat dari kayu Cendana. Sertifikasi Museum Pusaka TMII.

Keris dhapur Sembada (bahasa Indonesia: sanggup membuktikan kemauan) termasuk keris yang langka untuk buatan lama maupun baru. Keris luk tiga ini  memiliki ricikan berupa kembang kacang pogog, satu lambe gajah, satu jalen, pejetan, tikel alis, sraweyan, greneng, dan terkadang ada pudhak setegal jika terdapat pada keris dhapur Sembada versi besar.
Keris koleksi saya ini didapat sebagai hadiah dari seorang sahabat di Surabaya. Meski bentuknya kecil, tetapi cukup berat juga mengingat keris ini adalah bukan buatan lama. Pamor Wos Wutah awalnya belum tampak terlalu jelas sebelum dicuci dan diwarangi ulang. Pamor tersebut terkesan menempel pada besi dengan berlapis-lapis, yang merupakan ciri khas buatan baru tangguh Madura.

Sabtu, 06 Agustus 2011

Keris Yang Harus Dihindari

Pengertian keris yang harus dihindari disini bukanlah keris dengan jin gundul berwajah buruk pembawa sial seperti keyakinan banyak orang, melainkan keris yang diragukan syarat materialnya (wutuh, tangguh, sepuh) untuk dibeli, dibayar atau dimaharkan.

Jika anda pencinta keris sepuh/tua/kuno, berhati-hatilah sebab segmen pasar keris jenis ini rawan penipuan. Ketahuilah keris dapur mana saja yang popularitasnya tinggi dan ketersediaanya cukup banyak (sengkelat, parungsari, jalak) dan keris dapur mana saja yang popularitasnya tinggi tapi ketersediaan pasar sedikit (jaran guyang, sempana bungkem, pasopati). Semakin jarang dapur keris tersebut maka terjadi upaya untuk membesut/mengolah keris dapur lain yang mirip untuk dijadikan dapur yang jarang sekaligus bernilai jual tinggi. Misalnya Kalamisani diolah menjadi Pasopati, keris lurus dijadikan luk kemba/hemet dan seterusnya.

Pemalsuan juga bukan saja soal mengubah dapur keris tetapi juga membuat bilah keris menjadi sepuh/tua/kuno, baik dengan proses kimiawi (menggunakan asam) atau proses alamiah (menguburnya di tanah atau membiarkannya di tempat terbuka dalam jangka waktu tertentu. Oleh karena permintaan keris sepuh/tua/kuno cukup tinggi, maka cara lain adalah membuat keris jenis itu dengan bahan-bahan material yang mirip seperti pipa ledeng bahkan velg motor untuk bilah dan pamor. Mereka yang tidak mampu memilah atau terlalu bernapsu dengan keris sepuh membuat permintaan tinggi dimana pasar bereaksi memenuhi kebutuhan itu dengan berbagai cara. Seorang seller keris pernah mengatakan pada saya bahwa makin hari ketersediaan keris sepuh/tua/kuno yang asli semakin sedikit. Keris yang bagus-bagus sudah jatuh ke tangan kolektor kelas kakap. Mereka membeli keris dengan harga murah kepada pedagang yang lebih kecil serta berani menjualnya kembali dengan harga tinggi karena sudah punya nama besar. Sementara keris yang tersisa hanya berputar di dalam pasar level bawah dengan harga yang terus naik karena sudah berkali-kali berpindah tangan. Ketersediaan yang semakin sedikit itulah yang kemudian dipenuhi oleh keris besutan/owah-owahan yangdibuat semirip mungkin dengan aslinya, selagi permintaan pasar lebih cenderung kepada keris sepuh dibandingkan keris baru.

Dengan demikian keris besutan/owah-owahan bukan lagi mengambil bentuk 'asal jadi' dan 'asal aneh' seperti fenomena tahun 1980an, melainkan mengikuti keinginan pasar dimana para peminat keris sepuh sudah semakin pintar untuk mencari pusaka sesuai pakem. Benarkah sesuai pakem? Jika pakem mengatakan bahwa keris harus memenuhi kriteria utuh (dicari yang tidak cacat seperti combong atau nama kerennya pamengkang jagad, nyangkem kodok, randa beser, pamor minum darah dan sebagainya), maka harus memenuhi kriteria sepuh dan tangguh itulah yang masih jadi pertanyaan besar. Butuh pengalaman memegang keris dan jam terbang tinggi untuk bisa mengetahui seberapa tua dan jaman pembuatan sebuah pusaka.

Oleh karena itu, membeli/memahari sebilah pusaka sepuh/kuno/tua terutama online harus memperhatikan aspek sebagai berikut: Pertama, harga yang realistis; jika harga terlalu murah atau terlalu mahal, anda boleh curiga. Terlalu murah bisa jadi kualitasnya memang rendah atau penjualnya tidak tahu menilai kualitas barang (meski faktor ini jarang terjadi), atau terlalu mahal karena banyak cerita bumbu yang dijual (pegangan raja majapahit, milik empu gandring dan sejenis). Pada saat ini, sebilah keris sepuh dengan dapur yang mudah diperoleh (brojol, jalak) dan pamor mlumah atau tiban (ngulit semangka, wos wutah) berkualitas tangguh, utuh sepuhnya baik biasanya berkisar 800ribu-1,5juta rupiah. Jika melalui proses lelang bisa lebih murah, entah karena sudah bosan, stok banyak atau ada cacat kecil yang tidak berarti. Keris dengan dapur yang lebih jarang (pasopati) dengan usia yang lebih tua, pamor miring atau rekan (lar gangsir, ron genduru) bisa berkisar 2,5 hingga 3 juta rupiah. keris tua tangguh bali yang jarang di pasaran bisa mencapai 4 juta rupiah sementara keris dengan dapur seperti singo barong atau nogososro tanpa kinatah bisa mencapai 5 juta rupiah. Itu semua masih harga bilah dengan sandangan standar. Semakin mahal sandangan seperti warangka dengan perak murni, emas bahkan permata tentu saja akan membuat keris semakin mahal. disini bukan lagi faktor obyektif mengenai material tetapi sudah soal investasi bahkan juga faktor subyektif seperti keindahan dan seni. Belum lama ini saya melihat langsung sebilah keris dengan sandangan berupa warangka emas campur perak dengan hiasan batu mirah serta berlian. Penjualnya menyebutkan angka 450 juta rupiah untuk keris dengan dapur Sempana luk 7 yang menurut saya bilahnya biasa-biasa saja. Itu masih lebih fair dibandingkan orang yang menipu dengan mengatakan menjual keris Pasopati seharga milyaran rupiah, padahal gambar yang dipasang adalah Tilam Upih biasa.

Kedua, seller yang terpercaya. Banyak penjual yang kini sudah memiliki blog atau facebook untuk menawarkan dagangannya. Pilihlah mereka yang dapat dipercaya baik kualitas barang dagangan, service exellence, serta respons yang bersahabat. Saya cenderung memilih penjual yang kredibilitasnya bukan saja didapat secara online, tetapi juga mereka yang memiliki penjualan offline, serta mudah dihubungi baik lewat email atau telpon. Dengan demikian kepercayaan bisa dibangun dengan baik untuk proses bisnis selanjutnya. Pengalaman saya, pada akhirnya harga nomor dua karena nomor satu adalah kepercayaan yang tidak mudah untuk didapat dan dipelihara. Pertimbangkan pula faktor budaya dan daerah untuk menggambarkan secara garis besar karakter penjual dan barang dagangannya, sehingga anda dapat lebih mudah memilih pusaka berdasarkan gatra (Yogya, Solo, Madura) bahkan juga membaca kesukaan seller terhadap jenis pusaka tertentu. Seorang seller langganan saya menyukai pamor wengkon sehingga informasi terhadap pamor jenis itu dan ketersediaan yang dimilikinya, memudahkan saya jika kelak menginginkan pamor demikian.

Ketiga, pertimbangkan suara hati dan perbanyak pengetahuan tentang aspek fisik/material keris. Seringkali faktor "keblondrok" (tertipu mendapat keris besutan/muda padahal menginginkan yang tua) bukan saja karena tidak memahami harga pasar, seller yang curang tetapi juga lebih banyak karena ketidaktahuan dan rasa abai terhadap hati sendiri. Jika sudah bernapsu menginginkan suatu, maka peluang untuk jatuh karena terlalu mahal dan tertipu juga semakin besar. Favoritisme terhadap dapur atau pamor tertentu membuat orang kalap untuk mengejar apalagi harus berlomba dengan orang lain di pelelangan. Selain menguras dompet, tentunya akan malu jika mendapat barang yang ternyata bertolakbelakang dengan harapannya. saya pribadi menganggap proses "keblondrok" untuk satu kali adalah wajar demi pembelajaran. Setidaknya anda memegang sebilah keris yang akan jadi referensi agar tidak mendapatkan yang serupa. Siapapun bahkan yang katanya pakar perkerisan pernah mengalami hal ini. Jika anda berkali-kali "keblondrok" tanpa pernah mau belajar, itu bebal namanya. Itulah sebabnya suara hati penting dan diimbangi dengan proses pengetahuan yang mumpuni. Ada banyak tempat untuk bertanya dan didatangi, ada banyak buku dan referensi untuk dibaca. Tidak ada salahnya mendatangi dan memiliki kan?

Lantas bagaimana dengan penggemar pusaka baru/tangguh Kamardikan abad XX dan XXI? Sejalan dengan perkembangan pasar, keris atau pusaka baru juga sudah bermunculan dan memiliki kualitas yang semakin lama semakin baik. Meski masih disambut dingin oleh para kolektor pemula yang tergila-gila dengan keris sepuh, keris Kamardikan (pembuatan setelah tahun 1945) masa sekarang sudah mengikuti pakem bahkan mutrani (duplikat) terhadap keris-keris sepuh yang dapur dan pamornya langka. Seorang seller pernah mengatakan kepada saya bahwa Keris Kamardikan yang dibelinya sebagai modal untuk lelang, memiliki harga rata-rata 300 ribu rupiah sementara yang berkualitas sangat bagus baik dapur yang jarang maupun pamor miring/rekan bisa mencapai 2,5 juta rupiah. Penjual yang jujur akan mengatakan bahwa barangnya adalah Kamardikan baik garap biasa maupun garap alus. Sementara yang tidak jujur atau tidak mau tahu akan mengatakan itu keris sepuh dan membodohi pembeli yang tidak mau belajar.

Untuk itulah sangat penting untuk menghindari keris-keris yang tidak sesuai dengan harapan, isi kantong dan pengetahuan anda. Tidak ada salahnya memiliki keris baru yang bagus garapannya dibandingkan memburu keris tua yang tidak jelas asal-usulnya.