Dalam sebuah kesempatan yang tak terduga, saya berkenalan dengan pak Wahyu Affandi Suradinata, guru teupa atau empu dalam bahasa Sunda dari paneupaan Kujang Pajajaran di Bogor. Beliau juga guru bahasa Sunda dan guru Seni Rupa di sebuah SMK Swasta. Pak Wahyu menerangkan bahwa berbeda arti dengan istilah yang sama digunakan di daerah lain, guru teupa adalah sebutan untuk empu pembuat senjata di tatar Sunda, sementara pande adalah pembuat alat-alat pertanian. Sebagai guru teupa, pak Wahyu dapat dikatakan sebagai satu-satunya orang yang menguasai dan membuat kujang tidak saja sesuai dengan pakem yakni Pantun Bogor sebagai sumber sejarah Sunda Pajajaran, tetapi juga karena upaya beliau untuk menggali informasi lebih dalam mengenai Kujang yang masih dimiliki para sesepuh, museum, bahkan juga koleksi pribadi. pak Wahyu sendiri menyukai kujang sejak menemukannya tertancap di sebuah batu di pesisir sungai Sukawayana, Cisolok, Pelabuhan Ratu. Sejak itu ia bukan saja cuma mencoba mengoleksi tetapi juga membuatnya setelah mendatangi dan mengumpulkan informasi dari para sesepuh pemilik kujang yang masih ada, museum, dan juga acuan sumber sejarah lain mengenai pembuatan kujang.
Menurut pak Wahyu, Kujang sebagai senjata genggam khas Sunda dikenal dengan sebutan Kujang Pajajaran yakni kekuasaan Pakuan Pajajaran ketika diperintah oleh Prabu Sri Baduga Maharaja Siliwangi (1482-1521M). Senjata tersebut adalah penanda karakter etnis Sunda yang ”tabu pandai perang, tapi mesti pandai jika diperangi”. Penanda inilah yang melatari bentuk senjata Kujang yang berukuran kecil dan ramping. Dalam segi penggunaannya, Kujang tidak digunakan dengan cara menebas atau membacok, tapi hanya untuk membela diri dengan cara menangkis, menusuk atau menikam dari jarak dekat apabila mendapat serangan. Itulah sebabnya menurut beliau, senjata Kujang juga merupakan simbol pusaka yang mengandung makna filosofis ”kujang dua pangadekna” (kujang yang tajam di kedua sisinya). Artinya, setiap orang Sunda sebagaimana etnis lain di Indonesia juga harus benar-benar berguna tidak saja bagi jati diri budaya tetapi juga bagi bangsa dan negaranya.
Fungsi Kujang sendiri juga mengalami perubahan sesuai dengan jaman. Pada masa Pajajaran, menurut pak Wahyu, sekurangnya dikenal empat macam fungsi Kujang. Pertama, Kujang Pamangkas dengan ukuran bilah (waruga) satu setengah hingga dua jengkal (30-40cm). Bentuknya agak lebar bagian ujungnya melengkung ke dalam. Kujang Pamangkas digunakan untuk membabat (nyacar) semak belukar pada persiapan lahan ladang (huma). Kedua, Kujang Pangarak dengan ukuran bilah sekitar 20cm sementara panjang tangkainya sendiri antara 120-180cm. Kujang Pangarak digunakan untuk upacara kerajaan, keagamaan dan adat. Digunakan pula dalam keadaan darurat untuk menangkis serangan musuh. Ketiga, Kujang Pakarang yang merupakan semua jenis kujang kecuali Kujang Pamangkas. Ukuran bilahnya kira-kira 20-30cm dan dipersiapkan untuk menghadapi serangan musuh yang menyerang. Pamor Bilah dilumuri oleh bahan-bahan racun yang mematikan. Keempat, Kujang Pusaka yang berpamor dan matanya diberi logam dari emas atau batu permata. Kujang Pusaka juga diberi tuah dan kekuatan magis untuk menambah kewibawaan dan keagungan pemiliknya yakni raja dan para pejabat kerajaan. Kini fungsi kujang meski digunakan sebagai hiasan atau cenderamata juga masih tetap sebagai pusaka.
Saya sempat bertanya kepada pak Wahyu, mengapa ada lubang di bilah kujang dan apa makna dari lubang tersebut? Beliau menjawab bahwa itu sebenarnya adalah salah kaprah karena itu bukan lubang melainkan mata, yang pada bilah kujang asli memang dulunya diisi oleh logam atau permata. Pada masa kini orang mengenal kujang dengan lubang karena isinya sudah tidak ada. Kujang buatan pak Wahyu seperti sesuai pakem pembuatan juga diisi oleh logam meski terbuat dari kuningan. Bisa juga diisi emas atau permata sesuai dengan pesanan. Sementara jumlah mata menunjukkan status, hirarki, derajat dan fungsi sosial dari si pemilik sejak jaman Pajajaran dulu. Dari pakem Pantun Bogor yang memuat segala sesuatu tentang pembuatan Kujang tersebut, sekurangnya diketahui ada 11 macam Kujang, yakni Kujang Ciung Mata 9 dimiliki oleh Raja dan Brahmesta (Pandita Agung Negara). Kujang Ciung Mata 7 dimiliki oleh Prabu Anom, Mantri Dangka, Pandita. Kujang Ciung Mata 5 dimiliki oleh Geurang Seurat, Bupatim Geurang Puun. Kujang Ciung Mata 3 dimiliki oleh Puun, Kujang Ciung Mata 1 dimiliki oleh Guru Tantu Agama, Pangwereg Agama. Kujang Jago dimiliki oleh Balapati, Lulugu, Sambilan. Kujang Kuntul dimiliki oleh Patih (Puri, Taman, Tangtu, Jaba, Palaju), Mantri (Majeuti, Pasebar, Layar, Karang, Jero). Kujang Bangkong dimiliki oleh Guru (Sekar, Tangtu, Alas, Cucuk). Kujang Naga dimiliki oleh Kanduru, Jaro. Kujang Badak dimiliki oleh Pangwereg, Pamatang, Palongok, Palayang, Pangwelah, Bareusan, Prajurit, Paratulup, Pangawin, Sarawarsa, Kokolot. Sementara Kujang Ciung Mata 5 Wesi Kuning hanya dimiliki oleh para putri Menak Pakuan. Hampir semua jenis kujang tersebut dapat dibuat di paneupaan pak Wahyu di Bogor. Lebih jauh saya bertanya, pernah adakah orang yang memesan Kujang dengan mata 9? Pak Wahyu mengatakan bahwa ada saja yang memesan jenis itu tapi terlebih dahulu jelas silsilahnya karena pembuatan Kujang dengan mata 9 adalah milik raja jadi tidak bisa sembarangan. Apalagi jika tujuan pembuatan Kujang adalah sebagai pusaka, maka laku dan ritual juga dijalankan untuk konsentrasi dan keselamatan ketika menempa leburan. Bilah kujang di paneupaan terdiri dari berbagai macam besi dan baja yang ditempa hingga suhu 1200 derajat Celcius, sedangkan pamor keluar berdasarkan perbedaan logam campuran setelah direndam asam. Bilah normal kujang kira-kira 20cm diluar peksi. Mata Kujang bisa dipesan kecuali yang 9 diatas sementara pamor disesuaikan dengan hari lahir si pemilik.
Pamor bilah kujang sendiri dibuat dengan memunculkan pamor melalui perbedaan besi leburan. Pamor ini cukup unik karena jika dari bentuknya ada dua macam yakni (1) Sulangkar, berupa garis-garis yang biasa disebut Rambut Sadana dan (2) Tutul berupa bintik atau bulatan yang bertebaran. Fungsi pamor bukan saja untuk memperindah bilah Kujang tetapi juga menampung racun dan secara simbolis melambangkan jiwa atau karakter pemegangnya. Ada delapan motif pamor Kujang yakni (a) Waringin Kurung yang merupakan simbol Kewibawaan, Logawa, Pangayoman, Pangadeg, (b) Waruga Sungsang yang merupakan simbol Mawas Diri, Handap Asor, Gede Wawanen, Pandita, Logawa, (c) Hanjungan Bodas yang merupakan simbol handap Asor, Kasakten, Wicaksana, Pandita, Logawa, (d) Naga Bandang yang merupakan simbol Gede Wawanen, Singer, Jugala, Jajaten, Binangkit, (e) Tirta Sadana yang merupakan simbol Pandita, Pangadeg, Gede Wawanen, Wicaksana, Logawa, (f) Tapak Nanggala yang merupakan simbol Kukuh, Sabar, Tekun, Perkasa, Wicaksana, (g) Mega Sirna yang merupakan simbol Gede Wawanen, Handap Asor, Wibawa, Logawa, Pangadeg, dan (h) Sekar Kadaton yang merupakan simbol Agung, Wicaksana, Wibawa, Pangadeg, Gede Wawanen.
Seperti halnya keris, kujang juga memiliki ’ricikan’ tersendiri. Misalnya ujung kujang disebut papatuk, antara mata kujang disebut eluk, bagian perut kujang disebut beuteung, bagian luar bilah kujang disebut siih, bagian yang mirip gandik disebut tadah. Bagian tengah kujang disebut tonggong. Jika keris menggunakan cincin yang disebut mendak, maka kujang juga menggunakannya dengan sebutan selut. Gagang pada kujang disebut ganja atau landean. Sementara warangka kujang disebut kowak, sarangka dan gandar disebut tari cangka. Cincin atau selut kujang dibuat dari bahan kuningan atau tembaga yang disepuh emas. Hal yang menarik adalah teknik pemasangan bilah dan selut ini masih menggunakan cara yang tradisional sekali, yakni dengan menggunakan sarang semut hitam. Untuk melepas bilah dari gagang, haruslah dipanaskan terlebih dahulu. Saya membayangkan hal serupa sebenarnya juga dilakukan pada keris-keris jaman dahulu yang masih menggunakan cara yang sama atau menggunakan rambut manusia. Untuk gagang kujang sendiri bisa terbuat dari kayu Sonokeling, akar kayu Kopi, Akar Garu atau tanduk dengan motif Ceker Kidang, sedangkan untuk kowak atau sarung kujang terbuat dari kayu Sonokeling, kayu Samida atau kayu Sempur.
Tertarik memiliki kujang sebagai pusaka? Silahkan menghubungi paneupaan Kujang Pajajaran a/n pak Wahyu Affandi Suradinata, Jalan Parung Banteng rt04/01 no.120 Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor. Telpon (0251) 2270228.